Oleh : R. Hida
Engkau adalah bulir yang disemai dengan penuh pengharapan…
“Ukh, ntar bareng ke Balkotnya ya, anti dapet undangan kan?” tanyaku pada temanku satu mentoring yang hari ini kami akan ada penataan ulang kelompok.
“Yupz, bisa – bisa,” jawabnya tanpa menolehku karena sedang asik menekuni rumus matikanya.
“oke deh”
Perjalanan kami menuju Balkot tak semulus yang kami kira. Baru seperempat perjalanan tiba –tiba,
“Selamat siang mbak, bisa menepi sebentar?”, sapa pak polisi yang mengagetkan kami berdua. Alhasil, uangku yang lima belas ribu ditambah ngutang dengan temanku tadi harus rela menjadi hak pak polisi walaupun hanya karena sebab helm ciduk. Maklum, ku belum mampu sendiri membeli helm standar, pikirku, nanti setelah uangku bisa terkumpul. Tapi tak apalah. Dengan agak kesal dan sedikit meneteskan air mata, kami tinggalkan pos polisi itu. Entah, hati ini terasa tak rela, walau salah kami (red: salahku) juga. Akan tetapi ku lebih berpikir bahwa uang segitu bagi kami lebih berharga karena orang tua kami tak ringan dalam mencarinya dan memberikannya kepada kami.
Balkot semakin dekat. Dan tiba – tiba,
“Ukh, kok kayaknya motor jadi gak enak ya?”
“iya, terasa oleng, jangan – jangan…”
Sementara kita berhenti, dan ternyata, ban belakang motor yang kami tumpangi kempes. ALLAHU AKBAR. Entah apa yang terpikikan dalam benak kami. Uang kami habis untuk bayar tilang. Bagaimana untuk biaya tambal ban? Padahal rumah kami cukup jauh, tak tanggung – tanggung, 20-an kilo dari pusat kota.
“Wah Mbak, ini bannya terlalu besar lubangnya, kalau mau ditambal sebenarnya bisa, tapi resikonya ntar berkali – kali bocor lagi. Gimana Mbak?”
“Haduh, gimana ya, Pak. Kami juga bingung, sementara uang kami juga mepet,” ujar temenku agak berbohong.
“Atau gini saja, saya tinggal dulu ya motor ini, ntar sore saya ambil lagi, soalnya ada acara di Balkot, Pak”.
“Oh, ya ndak pa pa, Mbak,” sahut bapak bengkel penuh pengertian.
Berjalanlah kami berdua menyusul ke Balkot, tempat agenda kami sebenarnya. Terlambat, tapi tak apa. Moment sore itu menjadi awal yang baru bagi kami. Sebuah episode yang takkan pernah terlupa kecuali kami terkena amnesia.
“Assalamu’alaikum, ukh, masih ingatkah?”
“Wa’alaikumussalan. Umm, bentar – bentar…kaya’nya aku kenal. Oalah, Masya Allah, anti to. Beda dari dulu waktu SMP..,” kata temenku yang bersamaku tadi.
Oh, ternyata temanku itu satu SMP dengan orang baru yang menyapanya tadi. Percakapan berlanjut dan akhirnya kami mendapatkan pinjaman uang dari beliau. Segala puji hanya bagi Mu, Ya Rahmaan.
Engkau adalah tunas yang lahir dan terlahir untuk menjemput takdir pengharapan…
“Nak, hati – hati lho ya sekarang. Kalau sudah ndak ada kerjaan, pulang sajalah ke rumah. Ndak baik jadi anak perempuan sering pulang malem,” protes Ibu suatu kali ketika melihatku sering pulang malem. Maklum, jarak antara sekolah dengan rumahku cukup untuk menjadikan kaki kesemutan jika naik motor, atau akan ketiduran dalam angkot karena lamanya.
”Ya kan udah bilang, tiap malam minggu gini pasti ada kajian rutin. Kaya mbak dulu itu lho,” sahutku menjelaskan.
”Tiap minggu? Rajin sekali. Padahal di kampung kita yang cuma satu bulan sekali kamu jarang berangkat.”
”Humm, beda mungkin. Di sana, ku temukan hal baru, temen baru. Kaya kemarin yang kesini bawain sayuran itu,”sanggahku pelan.
”Tapi, sekali – kali kamu harus dateng, nongol di kampung. Ingat, Nak. Cuma kamu yang diharapkan mengurusi anak – anak di sini. Lihatlah temen – temenmu yang tak ada perhatiannya sama sekali dengan nasib jamaah kita, ” ujar Ibu mengingatkanku pada kampung.
”Inggih, Bu. Tak usahakan.”
Ya, kampungku adalah kampung yang heterogen. Kampung dengan muslim minoritas. Tak heran ketika masuk kampungku, akan disambut dengan gonggongan anjing. Tak seperti kelas di sekolahku yang semuanya muslim terkecuali wali kelas. Jadi, aneh saja waktu kita foto bersama, beliau sendiri yang terihat hitam di atasnya, hehe. Kembali ke kampungku. Memang, keberadaanku untuk optimal di kampung sangat diharapkan karena kalau dalam teori evolusi ada missing link, di kampungku juga begitu. Bedanya adalah yang hilang adalah para pemuda yang entah ditelan atau hanyut kemana. Bahkan mungkin termasuk diriku. Tapi, apa daya. Tubuhku yang hanya satu ini terbagi – bagi dan lebih banyak beraktivitas di sekolah karena memang ku menemukan titik nyaman di sana.
Rabb, jikalau memang Engkau berkenan untukku sementara tidak optimal di kampung, tunjukkan bahwa ku sanggup untuk beramanah di sekolah. Tapi jika kampung harus menjadi prioritas, maka jauhkanlah dari aktivitas sekolah yang terlalu menyitaku.
Engkau adalah pohon, dahan, ranting yang tumbuh dan berkembang untuk masa depan, demi pengharapan....
Usirlah rasa nyaman itu karena rasa nyaman membuatmu tak berkembang. Biarlah buih dan ombak kian mendera, dan engkau akan tahu akan makna kehidupan.
”Mbak, gimana ya? Kok sekarang ku jadi bingung,” keluhku suatu kali kepada mentorku. Baru kali ini ku bisa cerita dengannya, karena memang ku tak terbiasa curhat.
”Alhamdulillah, akhirnya anti bisa cerita juga. Ku menunggu kemurunganmu akhir – akhir ini menjadi sebuah pencerahan. Gimana – gimana, memangnya ada masalah apa?” tanya beliau terlihat antusias.
Dengan lancarnya kuceritakan semua permasalahanku. Di sekolah dan di kampung. Sekolah yang terlalu menyita dan kampung yang tak dipedulikan.
”Anti harus belajar apa yang namanya proporsional. Bukan adil semua fifty : fifty seperti yang dipahami oleh banyak orang,” kata mentorku setelah paham apa permasalahanku.
”Maksudnya gimana Mbak?”
”Ya, ketika anti memang lebih optimal di kampung, ya silakan di kampung. Tetapi sekarang anti sudah di sekolah dengan amanah yang cukup penting juga. Teman – teman anti juga mengamanahkan itu tidak mudah lho.”
”Iya Mbak, ku tahu. Akan tetapi, Ibu sangat berharap dan aku pun kadang merasa bersalah.”
”Saya pikir, anti hanya terlalu takut untuk memutuskan sesuatu. Sekarang begini saja. Anti tetap di sekolah. Dan kita akan agendakan kajian kita, mentoring kita di tempat anti terus.”
”Umm, bagaimana dengan teman – teman mentoring kita? Apa tidak kasihan? Rumahku jauh Mbak,” tuturku menjelaskan.
”Mbak tahu, tapi anti akan merasakan nikmat apa yang Allah akan berikan untuk kita”
”Apa itu Mbak?”
”Ok, kita lihat dan rasakan saja,” jawabnya sembari tersenyum simpul.
Akhirnya ku mengajak teman – teman mentoring untuk kajian rutin di kampungku. Walau jauh, teman – temanku menikmatinya. Bagaimana tidak? Mereka tak menjumpai nikmatnya makan bersama di gubuk ladang kecuali di tempatku. Mereka tak pernah menatap sunset kala sore hari kecuali kami duduk bersama di atas sungai jernih yang mengalir. Mereka tak pernah merasakan apa yang namanya udara sejuk dan rindangnya pepohonan kecuali di tempat yang bisa ku bilang, Surga kecil.
Tak hanya itu yang kami lakukan. Kami mengelola taman pengajian Al- Quran yang sebelumnya sepi karena tak ada yang mengurusi. Kami membuat latihan keterampilan untuk anak – anak SD, sebagai pencerahan agar mereka tak bosan untuk belajar, terutama mengaji. Jagung bakar bareng walau aku sendiri tak mau memaknnya, atau rihlah ke sungai yang di atasnya terdapat temapt suci bagi umat Kristiani. Hal itu kami lakukan dengan tidak meninggalkan syariatNya. Bismillah. Tholabul ’ilmi.
Ya, kami dapat merasakannya walau ia tak dapat dilihat. Itulah ukhuwah yang merupakan jawaban atas pertanyaanku. Ia adalah semu, akan tetapi akan selalu ada selama harap masih terjaga.
Hidup adalah putih seperti awan
Tinggi, bersih dan suci
Hidup itu merah seperti darah
Mengalir, beani dan menantang
Hidup itu biru seperti laut
Luas, dalam dan tenang
Hidup itu hijau seperti tanaman
Tumbuh, mengaungi dan menyejukkan
Hidup itu emas seperti mentari
Hangat, bersinar, dan ceria
Hidup adalah ungu
Misterius, elegan tapi menyenangkan
Teruntuk jiwa – jiwa yang resah dalam pengharapan
Berharaplah ketika kesempatan berharap masih ada
Karena bisa jadi, itulah harapan terakhir
Sebelum engkau menghadap
KepadaNya......
Ganbatte dan tetaplah berkarya!
Engkau adalah bulir yang disemai dengan penuh pengharapan…
“Ukh, ntar bareng ke Balkotnya ya, anti dapet undangan kan?” tanyaku pada temanku satu mentoring yang hari ini kami akan ada penataan ulang kelompok.
“Yupz, bisa – bisa,” jawabnya tanpa menolehku karena sedang asik menekuni rumus matikanya.
“oke deh”
Perjalanan kami menuju Balkot tak semulus yang kami kira. Baru seperempat perjalanan tiba –tiba,
“Selamat siang mbak, bisa menepi sebentar?”, sapa pak polisi yang mengagetkan kami berdua. Alhasil, uangku yang lima belas ribu ditambah ngutang dengan temanku tadi harus rela menjadi hak pak polisi walaupun hanya karena sebab helm ciduk. Maklum, ku belum mampu sendiri membeli helm standar, pikirku, nanti setelah uangku bisa terkumpul. Tapi tak apalah. Dengan agak kesal dan sedikit meneteskan air mata, kami tinggalkan pos polisi itu. Entah, hati ini terasa tak rela, walau salah kami (red: salahku) juga. Akan tetapi ku lebih berpikir bahwa uang segitu bagi kami lebih berharga karena orang tua kami tak ringan dalam mencarinya dan memberikannya kepada kami.
Balkot semakin dekat. Dan tiba – tiba,
“Ukh, kok kayaknya motor jadi gak enak ya?”
“iya, terasa oleng, jangan – jangan…”
Sementara kita berhenti, dan ternyata, ban belakang motor yang kami tumpangi kempes. ALLAHU AKBAR. Entah apa yang terpikikan dalam benak kami. Uang kami habis untuk bayar tilang. Bagaimana untuk biaya tambal ban? Padahal rumah kami cukup jauh, tak tanggung – tanggung, 20-an kilo dari pusat kota.
“Wah Mbak, ini bannya terlalu besar lubangnya, kalau mau ditambal sebenarnya bisa, tapi resikonya ntar berkali – kali bocor lagi. Gimana Mbak?”
“Haduh, gimana ya, Pak. Kami juga bingung, sementara uang kami juga mepet,” ujar temenku agak berbohong.
“Atau gini saja, saya tinggal dulu ya motor ini, ntar sore saya ambil lagi, soalnya ada acara di Balkot, Pak”.
“Oh, ya ndak pa pa, Mbak,” sahut bapak bengkel penuh pengertian.
Berjalanlah kami berdua menyusul ke Balkot, tempat agenda kami sebenarnya. Terlambat, tapi tak apa. Moment sore itu menjadi awal yang baru bagi kami. Sebuah episode yang takkan pernah terlupa kecuali kami terkena amnesia.
“Assalamu’alaikum, ukh, masih ingatkah?”
“Wa’alaikumussalan. Umm, bentar – bentar…kaya’nya aku kenal. Oalah, Masya Allah, anti to. Beda dari dulu waktu SMP..,” kata temenku yang bersamaku tadi.
Oh, ternyata temanku itu satu SMP dengan orang baru yang menyapanya tadi. Percakapan berlanjut dan akhirnya kami mendapatkan pinjaman uang dari beliau. Segala puji hanya bagi Mu, Ya Rahmaan.
Engkau adalah tunas yang lahir dan terlahir untuk menjemput takdir pengharapan…
“Nak, hati – hati lho ya sekarang. Kalau sudah ndak ada kerjaan, pulang sajalah ke rumah. Ndak baik jadi anak perempuan sering pulang malem,” protes Ibu suatu kali ketika melihatku sering pulang malem. Maklum, jarak antara sekolah dengan rumahku cukup untuk menjadikan kaki kesemutan jika naik motor, atau akan ketiduran dalam angkot karena lamanya.
”Ya kan udah bilang, tiap malam minggu gini pasti ada kajian rutin. Kaya mbak dulu itu lho,” sahutku menjelaskan.
”Tiap minggu? Rajin sekali. Padahal di kampung kita yang cuma satu bulan sekali kamu jarang berangkat.”
”Humm, beda mungkin. Di sana, ku temukan hal baru, temen baru. Kaya kemarin yang kesini bawain sayuran itu,”sanggahku pelan.
”Tapi, sekali – kali kamu harus dateng, nongol di kampung. Ingat, Nak. Cuma kamu yang diharapkan mengurusi anak – anak di sini. Lihatlah temen – temenmu yang tak ada perhatiannya sama sekali dengan nasib jamaah kita, ” ujar Ibu mengingatkanku pada kampung.
”Inggih, Bu. Tak usahakan.”
Ya, kampungku adalah kampung yang heterogen. Kampung dengan muslim minoritas. Tak heran ketika masuk kampungku, akan disambut dengan gonggongan anjing. Tak seperti kelas di sekolahku yang semuanya muslim terkecuali wali kelas. Jadi, aneh saja waktu kita foto bersama, beliau sendiri yang terihat hitam di atasnya, hehe. Kembali ke kampungku. Memang, keberadaanku untuk optimal di kampung sangat diharapkan karena kalau dalam teori evolusi ada missing link, di kampungku juga begitu. Bedanya adalah yang hilang adalah para pemuda yang entah ditelan atau hanyut kemana. Bahkan mungkin termasuk diriku. Tapi, apa daya. Tubuhku yang hanya satu ini terbagi – bagi dan lebih banyak beraktivitas di sekolah karena memang ku menemukan titik nyaman di sana.
Rabb, jikalau memang Engkau berkenan untukku sementara tidak optimal di kampung, tunjukkan bahwa ku sanggup untuk beramanah di sekolah. Tapi jika kampung harus menjadi prioritas, maka jauhkanlah dari aktivitas sekolah yang terlalu menyitaku.
Engkau adalah pohon, dahan, ranting yang tumbuh dan berkembang untuk masa depan, demi pengharapan....
Usirlah rasa nyaman itu karena rasa nyaman membuatmu tak berkembang. Biarlah buih dan ombak kian mendera, dan engkau akan tahu akan makna kehidupan.
”Mbak, gimana ya? Kok sekarang ku jadi bingung,” keluhku suatu kali kepada mentorku. Baru kali ini ku bisa cerita dengannya, karena memang ku tak terbiasa curhat.
”Alhamdulillah, akhirnya anti bisa cerita juga. Ku menunggu kemurunganmu akhir – akhir ini menjadi sebuah pencerahan. Gimana – gimana, memangnya ada masalah apa?” tanya beliau terlihat antusias.
Dengan lancarnya kuceritakan semua permasalahanku. Di sekolah dan di kampung. Sekolah yang terlalu menyita dan kampung yang tak dipedulikan.
”Anti harus belajar apa yang namanya proporsional. Bukan adil semua fifty : fifty seperti yang dipahami oleh banyak orang,” kata mentorku setelah paham apa permasalahanku.
”Maksudnya gimana Mbak?”
”Ya, ketika anti memang lebih optimal di kampung, ya silakan di kampung. Tetapi sekarang anti sudah di sekolah dengan amanah yang cukup penting juga. Teman – teman anti juga mengamanahkan itu tidak mudah lho.”
”Iya Mbak, ku tahu. Akan tetapi, Ibu sangat berharap dan aku pun kadang merasa bersalah.”
”Saya pikir, anti hanya terlalu takut untuk memutuskan sesuatu. Sekarang begini saja. Anti tetap di sekolah. Dan kita akan agendakan kajian kita, mentoring kita di tempat anti terus.”
”Umm, bagaimana dengan teman – teman mentoring kita? Apa tidak kasihan? Rumahku jauh Mbak,” tuturku menjelaskan.
”Mbak tahu, tapi anti akan merasakan nikmat apa yang Allah akan berikan untuk kita”
”Apa itu Mbak?”
”Ok, kita lihat dan rasakan saja,” jawabnya sembari tersenyum simpul.
Akhirnya ku mengajak teman – teman mentoring untuk kajian rutin di kampungku. Walau jauh, teman – temanku menikmatinya. Bagaimana tidak? Mereka tak menjumpai nikmatnya makan bersama di gubuk ladang kecuali di tempatku. Mereka tak pernah menatap sunset kala sore hari kecuali kami duduk bersama di atas sungai jernih yang mengalir. Mereka tak pernah merasakan apa yang namanya udara sejuk dan rindangnya pepohonan kecuali di tempat yang bisa ku bilang, Surga kecil.
Tak hanya itu yang kami lakukan. Kami mengelola taman pengajian Al- Quran yang sebelumnya sepi karena tak ada yang mengurusi. Kami membuat latihan keterampilan untuk anak – anak SD, sebagai pencerahan agar mereka tak bosan untuk belajar, terutama mengaji. Jagung bakar bareng walau aku sendiri tak mau memaknnya, atau rihlah ke sungai yang di atasnya terdapat temapt suci bagi umat Kristiani. Hal itu kami lakukan dengan tidak meninggalkan syariatNya. Bismillah. Tholabul ’ilmi.
Ya, kami dapat merasakannya walau ia tak dapat dilihat. Itulah ukhuwah yang merupakan jawaban atas pertanyaanku. Ia adalah semu, akan tetapi akan selalu ada selama harap masih terjaga.
Hidup adalah putih seperti awan
Tinggi, bersih dan suci
Hidup itu merah seperti darah
Mengalir, beani dan menantang
Hidup itu biru seperti laut
Luas, dalam dan tenang
Hidup itu hijau seperti tanaman
Tumbuh, mengaungi dan menyejukkan
Hidup itu emas seperti mentari
Hangat, bersinar, dan ceria
Hidup adalah ungu
Misterius, elegan tapi menyenangkan
Teruntuk jiwa – jiwa yang resah dalam pengharapan
Berharaplah ketika kesempatan berharap masih ada
Karena bisa jadi, itulah harapan terakhir
Sebelum engkau menghadap
KepadaNya......
Ganbatte dan tetaplah berkarya!


Tidak ada komentar:
Posting Komentar