Anak terakhir dimanja? Ohh, tidak.
Setidaknya itulah yang ada dalam kamus saya.
Terlahir sebagai anak bontot dari tiga
bersaudara, bukan alasan buat saya untuk bermanja. Terlebih dua kakak saya,
berjarak 6 dan 12 tahun dari saya. Alhasil, ketika saya masih kuliah, mereka
sudah berkeluarga dan berpenghasilan.
Ketika di ajang perkenalan diri, kata “wah,
pasti dimanja tu…” sering terdengar ketika menjelaskan posisi saya. Pernah juga
keponakan bilang “Ahh, bulik itu dimanja.” What????
Saya tidak terima kawan-kawan.
Mungkin, dari sisi orang tua, mereka
menginginkan memanjakan saya. Mungkin mereka mengiyakan segala apa mau saya.
Mungkin juga mereka monggo kerso apapun
aktivitas saya.
Well, tapi apakah terpikir juga? Pantas
saja orang tua saya hanya memikirkan saya, lha wong dua kakak saya sudah punya
penghidupan sendiri-keluarga sendiri. Pantas bukan jika mereka menginginkan
memenuhi apa mau saya karena selain saya, sudah tidak ada lagi? Paling ya cuma
cucu-cucu mereka.
Tapi saya menolak mentah-mentah. Saya
tidak mau dimanja.
Saya senang ketika apa yang saya raih
adalah usaha saya, ya mungkin mereka (ortu) tetap campur tangan, terlebih dalam
hal doa. Saya marem (puas) ketika bisa menjajaki dunia yang luas dengan tangan
saya sendiri.
(semoga ini bukan karena saya
individualis ya…)
Saya lebih senang memakai uang
sendiri, daripada pemberian orang tua. Yaa, walaupun ada kalanya saya terima
pula. Apalagi ketika beliau berkata dengan tegas: engkau masih tanggung jawabku
sebelum menikah.” Heheeee, okelah…, harap maklum anak perempuan soalnya. Exactly, ada alasan tertentu yang tidak
bisa di-publish, kenapa saya memilih
bersikap seperti itu.
Dan ingat, saya bukan anak manja. Oke.
Sekian penjelasan saya.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar