Pages

Ads 468x60px

Rabu, 06 Maret 2013

Anak Terakhir: Tidak Harus Dimanja

Anak terakhir dimanja? Ohh, tidak. Setidaknya itulah yang ada dalam kamus saya.
Terlahir sebagai anak bontot dari tiga bersaudara, bukan alasan buat saya untuk bermanja. Terlebih dua kakak saya, berjarak 6 dan 12 tahun dari saya. Alhasil, ketika saya masih kuliah, mereka sudah berkeluarga dan berpenghasilan.
Ketika di ajang perkenalan diri, kata “wah, pasti dimanja tu…” sering terdengar ketika menjelaskan posisi saya. Pernah juga keponakan bilang “Ahh, bulik itu dimanja.” What????
Saya tidak terima kawan-kawan.
Mungkin, dari sisi orang tua, mereka menginginkan memanjakan saya. Mungkin mereka mengiyakan segala apa mau saya. Mungkin juga mereka monggo kerso apapun aktivitas saya.
Well, tapi apakah terpikir juga? Pantas saja orang tua saya hanya memikirkan saya, lha wong dua kakak saya sudah punya penghidupan sendiri-keluarga sendiri. Pantas bukan jika mereka menginginkan memenuhi apa mau saya karena selain saya, sudah tidak ada lagi? Paling ya cuma cucu-cucu mereka.
Tapi saya menolak mentah-mentah. Saya tidak mau dimanja.
Saya senang ketika apa yang saya raih adalah usaha saya, ya mungkin mereka (ortu) tetap campur tangan, terlebih dalam hal doa. Saya marem (puas) ketika bisa menjajaki dunia yang luas dengan tangan saya sendiri.
(semoga ini bukan karena saya individualis ya…)
Saya lebih senang memakai uang sendiri, daripada pemberian orang tua. Yaa, walaupun ada kalanya saya terima pula. Apalagi ketika beliau berkata dengan tegas: engkau masih tanggung jawabku sebelum menikah.” Heheeee, okelah…, harap maklum anak perempuan soalnya. Exactly, ada alasan tertentu yang tidak bisa di-publish, kenapa saya memilih bersikap seperti itu.
Dan ingat, saya bukan anak manja. Oke. Sekian penjelasan saya.


Tidak ada komentar: