Pernah datang ke acara pernikahan?
atau walimahan? Dari yang sederhana sampai yang bermewah ruah. Nah, kali ini
saya sedikit mencurahkan pendapat tentang acara pernikahan, terutama bagian
busananya. Sekedar mengamati, dari pengalaman menghadiri undangan maupun
mengamati foto-foto yang terpampang.
Ajining diri gumatung ana ing lathi
Ajining raga gumatung ana ing busana
Hayooo, ada yang tau maknanya? hehe.
Intinya, harga diri seseorang tergantung lidah (apa yang diucapkannya) dan
harga diri secara fisik tergantung dari performance
dan pakaiannya.
Balik lagi ke bahasan awal, pernikahan
merupakan moment penting dan bersejarah bagi setiap pasangan yang sedang
melakoninya, isn’t it? Jadi wajarlah,
mereka akan tampil lain dari biasanya.
Kalo laki-laki, saya rasa mau ketika
nikah ataupun saat biasa, mereka cenderung tampil dengan elegan dan tidak
terkesan “mangklingi”. Tapi, akan berbeda dengan wanita, dan terlebih akhwat.
Alhamdulillah, bagus juga |
Sehari-harinya, akhwat biasa tampil
ala kadarnya. Tanpa mengurangi izzah, tetap berpenampilan sopan dan tidak
norak. Kadang juga ada yang memakai perona pipi atau sekedar lipgloss. Atau celak
dan sedikit taburan bedak baby di
wajah, hehe. (yang jelas bukan tipe saya). Tetap menjaga fitrah dari-Nya:
cantik tetapi juga tidak menggugah nafsu (semoga).
Nah, ketika di hari bahagia itu, siapa
sih wanita/akhwat yang tidak mau tampil cantik dan mempesona serta “mangklingi”?
Sah-sah saja memakai make-up dan berkreasi dengan gaun dan riasannya. Toh, itu
hari bahagia mereka yang bagai raja dan ratu.
Akan tetapi, terkadang saya kecewa. Catatan:
untuk akhwat yang biasanya berjilbab lebar dan tidak neko-neko (jilbabnya
terjulur menutupi dadanya). Kala itu, saya lihat jilbab lebar Anda berganti
lilit melilit. Terkadang pula, tidak ada pengganti jilbab penutup dada. Adanya
baju kebaya transparan dengan manset ketat. Dan jilbab Anda dimasukkan. Atau
Anda memakai gaun yang longgar bawahnya, tapi tetap saja lekuk badan terlihat
(terutama bagian atas karena biasanya jilbab dibuat lebih pendek dari
keseharian). Aneh.
Mungkin saya adalah termasuk orang
yang gagal paham tentang beginian. Antara syariat dan penampilan oke. Antara dipandang
baik di depan Allah dengan di depan khalayak.
Dan mungkin jika diperbolehkan melebar
sedikit, tentang walimahnya sekalian. Saya sangat kagum, dulu saat pertama kali
menghadiri walimah teman sister saya (saya masih SMP po ya). Tamu putra putri
dipisah, sang pengantin tidak “dipajang” di depan dan kami mengucapkan barakallah
pun dipisah, antara putra dan putri. Wah, lucu tapi keren, pikir saya waktu
itu. Sederhana pula.
Sekarang, saya jarang sekali menjumpai
yang seperti itu. Mungkin, maklum juga ya, hehe. Sekarang zamannya sudah
semakin baik, dan relasi pertemanan bertambah banyak. Jadi jika mau mengadakan
walimah sederhana, sepertinya kurang pas-apalagi jika relasi sang pengantin dan
orang tua adalah orang-orang “teras”. Terkadang, pesta pernikahan adalah
prestise juga.
Akan tetapi semoga jangan sampai,
walimah para ikhwah, melebihi mewahnya orang awam, so apa bedanya? Jangan sampai, pesta walimah tidak berkah hanya
karena yang kita undang tiada anak-anak yatim dhuafa yang semestinya mereka
berhak atas sajian makanan “extra-oishii” di hari bahagia.
lumayan..... |
ini karib saya dulu, hehe |
It's ok, walaupun agak melilit, :) |
cantik: teman RCDC |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar