Aku menangis sesaat sebelum tiba di rumah. Ya, memang waktu telah
melampaui jam10 malam. Mungkin ada yang berpikiran macam-macam tentang saya
atas kepulangan larut itu. Tapi yang jelas saya tidak neko-neko. Toh, saya dari
balai desa untuk rapat koordinasi. Mencoba menjadi pribadi yang bermanfaat bagi
masyarakat.
Aku menangis bukan karena pulang larut. Hanya saja saya tersiksa setelah sedikit dinasehati oleh seseorang sewaktu di
perjalanan pulang. Tentang bagaimana berbagi kebaikan, bukan hanya kepada diri sendiri,
tapi untuk orang lain juga. Bukan hanya untuk masyarakat, tapi terlebih untuk
keluarga kita.
Kemudian saya teringat penggalan ayat ini:
Yaa
ayyuhalladziina aamanu quu anfusakum wa ahliikum naara …
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka …” (QS. At Tahrim 6)
Mujahid
(Sufyan As-Sauri mengatakan, “Apabila datang kepadamu suatu tafsiran dari
Mujahid, hal itu sudah cukup bagimu”) mengatakan : “Bertaqwalah kepada Allah dan
berpesanlah kepada keluarga kalian untuk bertaqwa kepada Allah”. Sedangkan
Qatadah mengemukakan : “Yakni, hendaklah engkau menyuruh mereka berbuat taat
kepada Allah dan mencegah mereka durhaka kepada-Nya. Dan hendaklah engkau
menjalankan perintah Allah kepada mereka dan perintahkan mereka untuk
menjalankannya, serta membantu mereka dalam menjalankannya. Jika engkau melihat
mereka berbuat maksiat kepada Allah, peringatkan dan cegahlah mereka.” Demikian
itu pula yang dikemukakan oleh Adh Dhahhak dan Muqatil bin Hayyan, dimana
mereka mengatakan: “Setiap muslim
berkewajiban mengajari keluarganya, termasuk kerabat dan budaknya, berbagai hal
berkenaan dengan hal-hal yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada mereka dan apa
yang dilarang-Nya.”
Ada yang bilang, keluarga adalah suami-istri, bisa ditambah
anak-anak jika sudah ada. Kalau di ucapan idul fitri itu kan biasanya diiringi
dengan inisial ‘fulan+fams’ (family maksudnya) atau ‘fulanah beserta keluarga’.
Terus ada yang nyeletuk, emang udah berkeluarga? Padahal mereka yang mengirim
pesan tersebut masih mbak-mbak, adek-adek, hehe. Nah, disinilah makna keluarga diperluas tidak
sekedar seperti yang di atas. Seorang anak (yang belum membentuk keluarga , red: menikah) tetaplah merupakan anggota
keluarga besarnya. Ayah, Ibu, mungkin ada kakak, adik, kakak ipar, adik ipar,
keponakan, sepupu, nenek-kakek, budhe, pakdhe, tante, om dan sebagainya. Itulah
keluarga besar yang sangat pantas juga kita perhatikan.
Acapkali kita giat membina di luar sana. Melahirkan generasi baru
tak terhitung, sibuk ngisi kajian, dakwah di masyarakat, ikut mukhoyyam Qur’an
dan seterusnya. Tapi sudahkah kita melakukan yang seperti tadi untuk keluarga
kita, keluarga besar kita?
Masih terngiang di benak saya ketika akhir tahun kemarin ada
hajatan keluarga. Terkadang rasa malu menghadiri benak diri ini, masih ada
saudara-satu nenek alias sepupu saya yang belum menutup aurat dengan baik.
Sungguh, ia cantik. Tapi alangkah lebih cantik jika ia berbusana yang menutup
aurat.
Saat itu pula, saya sedih melihat nenek saya. Kondisinya agak
memprihatinkan. Beliau sudah sangat sepuh, jarang sekali beranjak dari tempat
tidur karena tak kuat berjalan. Sedihnya
karena beliau dua kali terjatuh ketika bangun dari tempat tidur, tidak ada yang
membantu beliau untuk buang air, maklum pada sibuk di tempat hajatan. Saya tahu
kondisinya esok hari, bibir beliau lebam. Akankah kelak kita akan memperlakukan
seseorang yang sangat berjasa akan adanya kita seperti itu? Saya sering miris
melihat nenek renta peminta-minta, sedang dengan nenek kandung sendiri
terkadang lupa. Hemm, semoga ini menjadi pelajaran bagi saya.
One day one
juz. Biasanya para aktivis senang
sekali dengan slogan ini untuk memacu bacaan Qur’an. Tapi, sudahkah kita
mengajari orang tua kita? Sudahkan kita rutin mengajak untuk juga membaca Qur’an?
Jamak kali kita sibuk dan pulang malam hingga tak sempat menemani dan sekedar
bertanya sudah membuka “panduan hidup belum?”. Ini benar-benar terjadi pada
saya yang notabene orang rumahan. Rumah layaknya kos, pulang ke rumah ya hanya
untuk numpang tidur. Dulu, ibu yang belum bisa baca Qur’an minta tolong dibimbing.
Ada-ada saja kesulitan lidah untuk melafalkan huruf sesuai makhraj-nya itu. Terkadang
saya emosi sekali ketika berkali-kali salah (saya gampang sekali capek apalagi
jika sudah pulang malam). Itu dulu, hehe. Sekarang alhamdulillah bisa membagi
waktu untuk stay at home lebih lama. Alhamdulillah,
ibu sudah bisa membaca Qur’an. Satu lagi yang mengganjal, saya belum bisa
mengajari Al Qur’an kepada Bapak saya, seorang laki-laki yang sangat sabar dan
pendiam, sosok yang saya rindukan senyum renyahnya.
Dini hari adalah waktu tepat untuk muhasabah, berbenah dan mengadu
kepada-Nya. Seringya kita bertahajud-call
dengan saudara-saudara forum kita, atau teman akrab kita, tetapi lupa dengan
keluarga besar kita. Kakak atau adik kita dibiarkan tertidur lelap menjemput
pagi. Saya lupa, bahwa saya punya kakak, punya sepupu, punya Bapak, Ibuk yang
juga harus saya bangunkan untuk kebaikan ini.
Allah, ternyata perhatian kepada keluarga besar kita tak sebanding
dengan perhatian terhadap saudara kita di luar sana. Astaghfirullah.
“Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat.” (Q.S Asy
Syu’ara’: 214).
Diriwayatkan
bahwa ketika ayat ke 6 ini turun, Umar berkata: “Wahai Rasulullah, kami sudah
menjaga diri kami, dan bagaimana menjaga keluarga kami?” Rasulullah SAW.
menjawab: “Larang mereka mengerjakan apa yang kamu dilarang mengerjakannya dan
perintahkanlah mereka melakukan apa yang Allah memerintahkan kepadamu
melakukannya. Begitulah caranya meluputkan mereka dari api neraka. Neraka itu
dijaga oleh malaikat yang kasar dan keras yang pemimpinnya berjumlah sembilan
belas malaikat, mereka dikuasakan mengadakan penyiksaan di dalam neraka, tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan mereka
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan Allah.
Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar