Di perempatan
lampu merah. Tiba-tiba ada anak menyodori sebuah amplop, bertuliskan khas anak
SD “Kak, mohon bantuan seikhlasnya untuk membeli buku.” Tanpa sadar, kita
merogoh kantong, ada beberapa receh disana dan uang itupun berpindah tangan.
Suatu waktu,
karena sibuknya agenda kampus akhirnya datang asasi terlambat. Dengan semangat
menggebu dan jurus ngebut di jalan, saking rindunya dengan forum pekanan itu,
sampailah kita di tempat janjian. Tengok kanan-kiri, baru ada satu orang yaitu
mbak kita. Hemmm, dan akhirnya beliau mengabarkan, saudara yang lain
berhalangan hadir. Alias hanya seorang, privat dong. Harapan dan semangat tadi
mendadak layu.
Atau sejenak merefreshkan badan setelah amanah
tertunaikan. Sekedar melepas penat dari aktivitas harian. Beberapa angan
berputar dalam benak. Menyepi dan menyendiri.
---------------------
Ilustrasi di
atas pasti pernah terjadi dalam diri kita. Semuanya kebaikan, bukan? Membantu
orang lain, memenuhi hak ruhani dan tubuh kita. Akan tetapi, sudahkah kita
sadari, bertapa kebaikan yang kita lakukan bisa jadi pun bernilai “0”?
Terkadang kita
terlupa akan satu, orientasi. Adakah orientasi perilaku dan hati ini tertuju pada
kebahagiaan yang bernilai akhirat? Berikut disampaikan oleh seseorang yang
sedang dinasehati oleh gurunya: “…Kalau kamu pergi ke
suatu tempat, jangan sampai tidak ada orientasi akhirat. Coba bayangkan kalau
meninggal di sana, apakah akan bangga dengan catatan amal yang hanya berorientasi
kesenangan dunia?”
Astaghfirullah. Setelah dipikir-pikir, ada benarnya juga. Buktinya, Allah tidak
hanya ‘iseng’ menciptakan kita di dunia ini. Apa yang ada dalam diri kita seperti
jantung, hati, ginjal, bahkan sampai alis yang terkesan perangkat ‘sepele’ pun
dirancang dan dibuat Allah dengan ‘tujuan kebaikan’. Orientasi kebaikan, sist. Lantas, orientasi kebaikan seperti
apa yang diharapkan?
Cukuplah kiranya, kita merenungi kisah
perjumpaan Rasulullah dan Muadz bin Jabal di suatu pagi.
“Bagaimana keadaanmu di pagi hari ini,
hai Mu’adz?”, tanya Rasulullah.
“Pagi hari ini, aku benar-benar telah
beriman, ya Rasulullah,” jawabnya.
Mendengar jawaban tersebut, Nabi pun
bertanya lagi “setiap kebenaran ada hakikatnya, maka apakah hakikat
keimananmu?”
“Setiap berada di pagi hari,
aku menyangka tidak akan menemui lagi waktu sore. Dan setiap berada di waktu
sore, aku menyangka tidak akan mencapai lagi waktu pagi. Dan tiada satu langkah
pun yang kulangkahkan, kecuali aku menyangka tiada akan diiringi dengan langkah
lainnya. Dan seolah-olah kesaksian setiap umat jatuh berlutut, dipanggil
melihat buku catatannya. Dan seolah-olah kusaksikan penduduk surga menikmati
kesenangan surga. Sedang penduduk neraka menderita siksa dalam neraka”, jawab
Muadz dengan penuh kemengertian.
“Memang, kamu mengetahuinya, maka pegang
teguhlah jangan dilepaskan!” seru Rasul yang mengobarkan semangat sahabatnya.
Bahasanya memang tingkat tinggi, tetapi
kita pasti bisa menyimpulkan maknanya. W.O.W. Subhanallah, Muadz bin Jabal
memberikan kita teladan tentang orientasi akhirat. Layaknya Muadz bin Jabal,
semoga apa yang kita lakukan saat ini tetap berorientasi kebaikan, orientasi
akhirat. Karena, tak sedikit pun kita tahu; satu atau dua menit mendatang Allah
akan memberikan keputusan apa bagi kehidupan kita. Apapun yang kita lakukan,
maka jangan lupa orientasikan (niatkan) untuk akhirat. Bukankah sudah jelas
bahwa “Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku, hanya untuk Allah
semata.” Nah, kita tinggal action
saja. Pun setiap amal yang kita lakukan, pasti akan ada LPJnya kelak. Maka dari
itu, yuk kita perbaiki setiap orientasi kebaikan kita menjadi amal akhirat yang
menyelamatkan kita dari siksa kubur dan neraka.
Berikut penutup merupakan doa dari
Muadz bin Jabal.
“Ya Allah, sesungguhnya
selama ini aku takut kepada-Mu, tetapi hari ini aku mengharapkan-Mu. Ya Allah,
Engkau mengetahui bahwa aku tidaklah mencintai dunia demi untuk mengalirkan air
sungai atau menanam kayu-kayuan, tetapi hanyalah untuk menutup haus di kala
panas, dan menghadapi saat-saat yang gawat, serta untuk menambah ilmu pengetahuan,
keimanan dan ketaatan.”
Sumber: dakwatuna, inspirasi


Tidak ada komentar:
Posting Komentar