Perjalanan.
Bukan sesuatu yang asing. Tiap hari aku menempuh lebih dari satu jam hanya
untuk pergi pulang kampus. Belum kalo ada kegiatan lain yang juga membutuhkan
waktu lumayan. Ke Kaliurang, Bantul, Jogja lantai dua alias Gunung Kidul wonderfull land, atau ke Wates. Tapi
kali ini, serba first time.
-----------------
Azan dhuhur
berkumandang. 12.00. Akhirnya, packing
barang bawaan selesai, ku bergegas ambil wudhu dan mengikuti sholat jamaah. Dan
tak lupa, aku melakukan jamak takdim karena siang ini akan journey ke suatu kota di ujung kulon Jawa.
Well, seperempat jam kemudian aku sudah
berada di tepi jalan raya. Kalo sesuai jadwal, kereta yang akan membawaku ke
ujung kulon tiba di stasiun pukul 12.37. Padahal jarak ke stasiun lumayan jauh.
Rencananya aku sudah berada di stasiun sebelum dhuhur. Akan tetapi pagi ini aku
banyak urusan yang harus segera diselesaikan sebelum meninggalkan kota ini
untuk sementara. Laporan penelitian, koordinasi dengan sekolah dan check tempat di daerah Bantul. Alhasil
plan itu gagal.
Taksi melesat
membawaku sampai depan stasiun pas. Wah, 12.35. Semoga aja tak terlambat. Agro
tertera 11.700. Ku kasih sopir itu selembar uang sepuluh ribuan dan selembar
lima ribuan. Setelah kuucapkan terima kasih, bapak sopir taksi itu berlalu
saja. Di benakku terbersit pikiran akan bertanya, kembaliannya Pak? Tapi urung.
Emm, ternyata, budayanya kayak gitu ya. Korupsi kecil-kecilan. Dan aku baru
tahu hari ini (karena hari ini adalah pertama kalinya aku naik taksi kawan…).
Bertapa dungunya diriku. Yah, anggap saja kembalian itu sebagai tip buat bapak
sopir tadi. Tapi, konsep keikhlasan dengan terpaksa jadinya…Hehe
Masuk ke
stasiun, ku tanya segera penjaga peron. “Pak, kereta ekonomi sudah tiba?”. Dan
jawabannya sungguh mencengangkan. Bukannya aku ketinggalan, ternyata kereta terlambat
satu jam dari jadwal. What?
Oalah ternyata
kelas juga membedakan ketepatan waktu ya. Kalo tipe bisnis apalagi eksekutif,
pasti jarang delay apalagi sampai
satu jam. Tapi kalo kelas ekonomi, ya, mungkin karena yang naik juga kelasnya
agak-agak berkantong tipis (atau memang pilihan untuk menghemat biaya) telat
satu jam dianggap biasa.
Ya sudah, sambil
menunggu ku coba membeli tiket kepulangan. Niatnya sih beli, tapi ternyata
sampai sepekan selanjutnya tiket sudah habis. Waduh, gini ni. Belum
berpengalaman jadinya serba dadakan dan banyak tidak persiapan. Pikir punya
pikir, mungkin ntar di stasiun tujuan aku bisa mendapatkan tiket (berharap ada
penambahan gerbong..). Ku tunggu kereta di peron sambil baca koran. Ya,
menuruti kebiasaan sambil menghindari pedagang asongan yang tiba-tiba melempar
koran di depan kita. Padahal, jelas aku juga lagi baca koran lhoh, Pak.
Akhirnya.
Penantian pasti berujung dengan kelegaan. Kereta pun tiba. Hehe. Bismillah.
Berkahillah perjalananku kali ini, Ya Rabb.
Dengan segala
minimalis, kelas ekonomi sekarang lebih agak nyaman daripada dulu (katanya).
Penumpang sesuai dengan tempat duduk, jadi kalo kuota kursi sudah habis, tiket
ya habis gitu. Jadi, tak terlalu bertumpuk penumpangnya. Meski pedagang asong
tetep aja wira-wiri. Dan beberapa peminta-minta. (Beginilah realita sosial
kawan, terkadang timbul perasaan miris dan kasihan, tapi juga tidak mendidik
jika kita terus memberi. Intinya, masih pilih-pilih, hehe… Jangan ditiru karena
tidak baik bukan? Memberi tanpa harus berpikir pantas atau tidak siapa yang
diberi).
Duduk di pojok,
dan berharap bisa menikmati lanscape
di luar sana. Alhamdulillah, teman sekursi adalah wanita seusiaku. Di depan
kami, ada dua orang laki-laki. Yang satu sepertinya masih rata-rata usia dua
puluhan, satunya agak serem, entahlah.
Memecah sunyi,
akhirnya kami memulai obrolan dengan menanyakan tujuan, asal dari mana. Dan
mulailah kami asyik berbincang.
Laki-laki paruh
baya ternyata “penumpang gelap” alias penumpang tanpa tiket. Entah bagaimana
dia bisa masuk (aku berpikiran baik lho, kan harus jujur, hee). Padahal
sepertinya stasiun dikelilingi tembok tinggi. Tapi yang namanya laki-laki,
pasti bisa manjat kan (hayoo, bener tidak ni, aku belum melakukan survey…).
Nasib kehabisan tiket membuatnya masuk ilegal aja. Katanya, kalo diperiksa
paling ntar bayar ato diturunkan di stasiun terdekat suruh beli tiket. Aku agak
iseng berpikir, apa besok aku pulang gitu aja ya? Ah, lupakan. Jalan pintas itu
tidak baik dan pasti tidak berkah.
Laki-laki itu
menyarankanku untuk mencobanya, apalagi kondisinya terdesak. Hemm, senyumku
terkembang. Biasa, orang jawa itu penuh dengan misteri dan basa-basi. Entah
enggan atau segan, intinya gak tegas, termasuk diriku.
Laki-laki
bertampang seram ternyata betul sudah Bapak-bapak usia 32 tahun. Punya anak
tiga berumur 2 setengah tahun, delapan bulan dan sepuluh hari. Aku berpikir?
Kok agak ganjil ya? Mungkin, raut keherananku terbaca oleh Bapak itu. Akhirnya
beliau cerita punya istri 2. Oooo, pantes. Istri pertama orang Makasar dan
tinggal di Jateng. Istri kedua tinggal di Jawa Timur. Jadi, bapak tadi dari
rumah istri kedua mau ke tempat istri pertama.
Usut punya usut,
asal muasal Bapak tadi berpoligami adalah karena ‘MBA’. Astagfirullah. Aku
terhenyak. Orang seperti apa di depanku ini. Tapi, ku dengarkan juga ceritanya.
Berawal dari pacaran dengan mahasiswi salah satu sekolah kebidanan. Dua tahun
dijalin dan istri pertama tak tahu akan hubungan ini. Akhirnya, setan pun
menang dengan adanya kejadian ‘kecelakaan’ itu. Dan bagaimanapun, Bapak itu
harus bertanggungjawab daripada dipenjara (ancaman keluarga wanita jika tidak
menikahi akan diperkarakan di pengadilan gitu). Katanya, penjara paling
menyeramkan adalah penjahat pemerkosa. Kedua kalinya aku ber O panjang.
Kenapa Bapaknya
bisa tau? Beliau ternyata punya masa lalu kelam. Bekerja di bumi Cendrawasih
menjadikan lupa diri. Bergelimang harta, masih muda lagi. Muda foya-foya tua
kaya raya. Mungkin ada benarnya juga (tapi Bapaknya belum tua-tua amat kok).
Kalo kita disarankan minum air putih minimal 8 gelas perhari, tak berlaku buat
Bapak itu. Minuman wajibnya adalah arak. Tak peduli pagi, siang, sore atau
malam sekalipun. Dengan pernikahan, akhirnya Bapak itu memutuskan kembali ke
Jawa dengan memboyong istri.
Memulai bisnis
di Jawa juga punya perjalanan berliku. Sebagai sopir, kecelakaaan lalu lintas
pasti dialami. Begitu juga dengan Bapak tersebut. Berperkara dengan polisi,
sudah biasa katanya. Ya itu tadi, sampai akhirnya dia tahu penjara paling seram
adalah penjara pemerkosa. Beliau pernah menabrak nenek-nenek hingga tewas. Wah,
ganas bener ini orang, pikirku.
Satu lagi, Bapak
itu juga gaul lho. Mengunjungi FB itu favorit. (Aku aja kalah). Tapi, content disana banyak untuk judi online.
Banyak rugi dan pernah untung juga 5 juta. Aku tak paham hal ini. Entah dunia
ini semakin sophisticated, tapi tanpa
kita menyaring apa yang kita butuhkan, yo kebawa arus. Memang benar, watak
orang terkadang bisa dilihat dari dengan siapa dia berteman dan bergaul.
Pada akhirnya,
Bapaknya menutup dengan semua itu masa lalu Mbak. Sekarang sudah lebih baik tapi
ya masih suka judi, hehehe. Syukurlah.
Di salah satu
stasiun Bapak tadi turun. Sebelum turun, beliau memperlihatkan 4 boneka yang
akan diberikan untuk buah hatinya di Jateng. Dan sebungkus besar makanan ringan
pesanan orang rumah. Btw, ada boneka shaun sheep. Di kotaku kan belum ada.
(Jadi pengen beli buat ponakan). Wooow, Bapak penuh kasih. Semoga berkah, Pak.
Aku capek. Ku
coba merangkai kata di buku saku. Bosan juga. Koran akhirnya jadi bahan bacaan.
Temaram senja
berganti malam. Perutku keroncongan. Aku lapar karena tadi siang tak sempat
makan (sebenarnya sih biasa tak makan siang). Aku takut makan di kereta
(kebersihannya itu lho, diragukan). Tapi kalo tak makan akan mengubah pola
makan yang itu sangat berdampak pada kesehatanku. Ini ni resiko orang yang
punya perut sensitif. Sudahlah, bismillah. Bukannya Allah mengikuti persangkaan hambaNYA. Positive thinking ajah.
Kuhabiskan
penantianku dengan membaca kalamMU. Tak terasa, hari ini aku bisa 2 juz.
Padahal, sebelumnya di hari biasa aku tak bisa mencapai rekor ini.
Tengah malam,
aku tiba di stasiun terakhir….
Bersambung ya….


Tidak ada komentar:
Posting Komentar