Terkadang memang
semangat itu naik dan turun. Iya kan? Suatu kali, kita akan bersemangat sekali
menyambut suatu seruan, kegiatan atau apapun itu. Apalagi sesuai bakmi (bakat,
minat maksudnya..) dan kita mau melakukannya tanpa pamrih. Tapi bisa jadi suatu
saat semangat kita akan turun di titik nadir. Seolah hidup segan tapi mati pun
tak mau.
-------------------
-mb,
posko bsk ad agnda apa y? Q ndak ada kuliah kq hr ini. .-
Malam itu kuputuskan bertindak sesuai
keinginan hati. Sudah dua pekan aku tak menengok aktivitas recovery di lereng
Merapi. Aku rindu keriangan santri TPA, ibu–ibu PKK atau bapak–bapak yang
sekedar nongkrong di depan barak pengungsian sambil menikmati kepulan asap
rokoknya. Besok, aku ingin ke posko melepas kerinduanku itu. Terlepas dari
koordinator, jadwal ataupun relawan yang belum bisa menyesuaikan waktu kuliah
dengan kegiatan posko.
Dret …. Dret … HP jadul itu bergetar.
1 message received. Siapa ya?
-bsk j1 ada
pelatihan ibu2 buat deterjen. Yuk, ikut. Adhek ksg boncengan? Mw nebeng ni :-)
-ok, mb. ksg
kok. Bsk ktmu d kos mb aja y. C U,sist-
------------------------------------
“Masuk dulu, dhek. Mbak mau sholat
bentar. Lagian masih panas banget. Nanti setengah satu kita jalan,” kata mbak
Ica, yang tadi malam mengajak ke posko.
“Oke, Mbak.”
-Da, q g ikut naek dlu y, ntar jam 4
trnyata ad kuliah-
-Y, not mind,,-
Memang, kuliah adalah prioritas. Dan
ini kegiatan relawan. Bukan paksaan, bukan pula kewajiban.
“Dhek, ntar lewat jalan baru yuk.
Lebih cepet lho, “ tawar mbak Ica.
“Heum, boleh-boleh. Tapi, ntar nyampe mana itu jalan ya, Mbak?” tanyaku
penasaran.
“Ya udah ntar dicoba aja. Hehe. Ntar
nyampe km.14. Yuk kita berangkat. Ntar telat lagi,” ajak Mbak Ica.
Bismillah.
Brum … brum …Wuzz
Aku bersama Mbak Ica melesat mengejar
waktu karena ternyata trainer yang akan mengisi pelatihan buat deterjen sudah
tiba di tempat. Haduh. Sedangkan kita baru berangkat. Butuh waktu sekitar setengah
jam. Aku berpikir, km.14 itu letaknya di sekitar kampus swasta di lereng Merapi
sana. Apa mungkin ada jalan tembus sampai kesitu. Lagian juga terbayang lebih
jauh. But, let’s we check it out.
“O..Ow, jalannya banyak belokan, “
kataku sedikit gusar. Aku tak terbiasa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi
di jalanan banyak tikungan. Pikirku, menambah waktu perjalanan, karena naik
turun gas tak stabil layaknya jalan lurus. Tapi, ya sudahlah.
“Iya, Dhek. Biasanya kita juga lewat
sini. Bisa lebih cepet,” kata Mbak Ica sedikit menenangkan.
Jalanan mulai menanjak. Hawa dingin
menyeruak diantara rerimbunan pepohonan. Sepi. Tak ada rumah penduduk. Mendung
mulai menyelimuti langit lereng Merapi. Cuaca yang ekstrim dan berubah dengan
tiba – tiba.
Hatiku resah. Ada apakah ini? Motor
terasa berat, padahal biasanya gigi 4 pun bisa melaju mulus di tanjakan. Ini
gigi 3, tapi rasanya berat sekali aku menarik gas motor di tanjakan itu. Tiba –
tiba …
Brumm…
Motorku melaju kencang. Gas tak bisa
dikendalikan. Panik. Calm down, calm down,
please! Aku menenangkan diriku dalam hati.
Tindakan cepat, ku coba turunkan gigi menjadi gigi 2. Tak bisa. Haduh, gimana
ini. Oh, ya, senjata pamungkas.
Ctek, citttt …
Kontak ku matikan. Tak peduli masih di
posisi gigi 3.
“Astagfirullah, ada apa, Dhek?
Motornya macet ya?” tanya Mbak Ica kaget.
“Ini Mbak, gasnya manjer1. Ndak bisa diturunkan, jadi ya tak matikan aja
mesinnya. Kalo dipaksa, entar nabrak dong,” jawabku sedikit emosi.
“Trus, gimana solusinya?” Mbak Ica
bertanya.
“Ya, terpaksa, dituntun Mbak. Mbak,
minta tolong didorongin ya, jalanan nanjak begini juga. Kita cari bengkel
terdekat dulu aja,” kataku.
“Oke,” Mbak Ica setuju.
Bercucur keringat kami mendorong
motor. Jalanan menanjak, di tengah hutan lagi, jelas tak ada rumah penduduk.
“Dhek, tu ada bengkel di kanan jalan.
Ada truk, tapi kayaknya bisa buat benerin motor kok. Alhamdulillah,” seru Mbak
Ica kegirangan. Wajar saja. Kami sudah telat di agenda yang kami buat.
Sementara, motor trouble juga.
“Dherek
langkung, Pak. Nyuwun ngapunten. Motor menika kadose gas ipun manjer. Kinten–kinten,
saged ndandosi mboten njih wonten mriki?2” tanyaku ke salah satu
bapak yang duduk di bangku depan bengkel.
“Oh,
niku lho Mbak, mas’e ingkang kagungan bengkel wonten ngandhap trek. Kadose
saged kok, Mbak3,” kata bapak–bapak tadi. Ternyata beliau juga
‘korban’ ban kempes.
“Saged,
Mbak. Biasane nggih do ngetenniku, gas manjer. Badhe wonten pundi to, Mbak?4”
tanya mas yang di bawah truk.
“Dateng
Ploso, Pak. Emm, menawi kulo tilar mawon motore pripun njih? Menika sampun
badhe wonten kegiatan wonten mrika5,” ku menjelaskan tujuanku
kepada mas itu.
“Nggih,
Mbak. Mboten nopo–nopo6, “ jawab Masnya melegakan hatiku. Aku
tahu, memperbaiki gas manjer agak memakan waktu, sedangkan kita terburu – buru.
“Mangkih,
dugi jam pinten njih menika bengkel bikakipun?7” tanyaku hampir
kelupaan.
“Jam
gangsal, Mbak.8”
Oke. Ku serahkan kunci motor kepada
mas–mas yang akan memperbaiki motorku. Bismillah.
Semoga tidak terjadi apa-apa. Aku belum mengetahui karakter orang daerah lereng
ini. Innallaha ma’ana9.
Perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki. Hitung–hitung olahraga. Lumayan, 2
kilometer cukup membuat keringat kembali bercucuran di tengah gerimis yang
mulai turun. Iseng kulihat jam di HP. 2:23 pm.
------------------------------------
Bakda sholat Maghrib. Aku sedikit review kegiatan sore tadi. Pelatihan
pembuatan deterjen berjalan lancar. Walaupun hujan turun, tak menggoyahkan
semangat ibu–ibu di salah satu barak pengungsian. Ya, disamping mendapatkan
keterampilan, mereka juga diselingi dengan pengukuran tensi gratis. Beserta
mereka, guyonan10 ala desa
pun mengalir dari ibu–ibu tersebut. Sedikit menghilangkan kepenatan kami.
Jam empat kita mulai dengan TPA adhek–adhek
pengungsian. Bertapa rindunya aku terhadap mereka. Keriangan, keceriaan dan
kepolosan mereka sejenak melepaskan diriku dari segudang aktivitas dan tugas
kampus.
------------------------------------
“Dhek, keburu pulang ndak ni?” tanya
Mbak Ica mengagetkanku.
“Oh, ya sebenarnya ini diminta mampir
belanja juga sama kakak. Lha pripun tekno?11”
tanyaku.
“Emm, nemenin adhek–adhek belajar ya.
Nyampe isya aja kok. Bisa ya?” Mbak Ica berusaha membujukku.
“Gimana ya? Umm, bingung. Ngerjain PR
ya ,Mbak mereka?”
“Yups, bisa kan?” harap Mbak Ica
dengan senyumnya.
“Oke, deh. Tapi nyampe isya aja kan,
Mbak? He, maklum, khawatir pulangnya kemaleman ni,” rajukku pada Mbak Ica yang
mulai sibuk menyambut kedatangan adhek–adhek.
“Hayuk, yang mau belajar kelas satu
sampe tiga SD dengan Mbak Ica ya, yang kelas empat sampe enam dengan Kak Purwo.
Ada yang SMP?” instruksi dari Mbak Ica.
“Ada Kak. Aku sama Ais,” gadis
perempuan bernama Nur itu menjawabnya.
“Oke, belajarnya sama Mbak Ida ya,”
Mbak Ica menjawab sambil menoleh kepadaku seakan meminta persetujuan.
What? SMP. Heum. Aku baru pertama kali
bersua lagi dengan mata pelajaran setelah dua tahun lalu aku menjadi tentor
privat. Masih ingatkah aku? Tanpa aku sadari, dua dara manis itu telah menunggu
di depanku. Buku telah siap. Pensil di tangan.
“Kita belajar apa ya untuk hari ini?”
tanyaku memecah keheningan diantara mereka.
“Ini, Mbak. Ada PR matika. Ini lho,
halaman 13 ada dua soal, halaman 15 ada 3 soal. Bingung, Mbak,” Ais mulai
dengan penjelasannya.
“Heum, matika ya. Oke, kita coba kerjain
sama-sama ya. Mbak juga udah lupa–lupa ingat gitu,” ajakku merendah. Tapi
memang aku juga sudah agak melupakan mata pelajaran, apalagi matematika.
“Ni Mbak. Nomer dua ini tu ndak ada
contohnya di buku. Jadi kita ndak bisa ngerjain,” tambah Nur menyatakan
ketidakbisaannya mengerjakan PR.
“Oke–oke. Santai ya. Kita coba satu
persatu, Let’s do! Hehe,” ku coba
menenangkan mereka.
PR tentang segitiga, derajat dan
menggambar segitiga dengan busur. Ya, ku buka–buka buku itu memang tidak
lengkap. Akan tetapi, mereka semangat sekali dalam mencari jawabnya. Ku ajari
mereka dengan hati–hati. Semoga benar apa yang ku ajarkan, Tuhan.
------------------------------------
Aku pulang dari posko Merapi jam
sembilan malam. Sendiri. Sepi. Kondisi di bawah katanya hujan deras ditambah
petir. Akan tetapi di lereng Merapi memang tak hujan sama sekali. Aku
memutuskan pulang. Aku punya ayah, ibu yang ku yakin, mereka menunggu
kepulanganku. Pasti mereka belum makan. Karena aku tahu, mereka tidak akan
makan tanpa aku bersamanya. Wait me, Mam
and Dad, I love You.
------------------------------------
*teruntuk para relawan, recovery itu
pasti, entah kita bersama mereka ataupun tidak. teruntuk adhek–adhek, ibu–ibu
dan segenap warga Merapi, terimakasih atas ilmu, pengalaman dan kedekatan. tak
ada yang lebih indah selain kebersamaan dalam suka dan duka. Tetap SEMANGAT*
#Maafkan aku sudah tak bersama lagi,
semoga hal kecil yang kulakukan, bermanfaat#
Keterangan:
manjer1: kondisi sepeda motor dengan gas yang
tidak bisa diturunkan karena karburator macet.
Dherek
langkung, Pak. Nyuwun ngapunten. Motor menika kadose gas ipun manjer. Kinten –
kinten, saged ndandosi mboten njih?2: Permisi, Pak. Mohon maaf. Motor ini
kelihatannya gas tidak bisa diturunkan. Kira – kira, bisa diperbaiki di sini
tidak ya?
Oh,
niku lho Mbak, mas’e kang kagungan bengkel ten ngandhap trek. Kadose saged kok,
Mbak3 :
Oh. Itu lho. Mbak, Masnya yang tukang bengkel ada di bawah truk. Sepertinya
bisa kok, Mbak.
“Dateng
Ploso, Pak. Emm, menawi kulo tilar mawon motore pripun njih? Menika sampun
badhe wonten kegiatan ten mrika5 : Pergi ke Ploso, Pak. Emm,
jika motor saya tinggal dulu bagaimana ya? Ini saya sudah ada kegiatan di sana.
“Nggih,
Mbak. Mboten nopo – nopo6 : Ya, Mbak. Tidak apa- apa.
“Mangkih,
dugi jam pinten njih menika bengkel bikakipun?7 : Nanti buka
sampai jam berapa ya bengkelnya?
“Jam
gangsal, Mbak8 : jam lima.
Innallaha
ma’ana9 :
Sesungguhnya Allah bersama kita.
guyonan10 : gurauan, bercandaan
Lha
pripun tekno?11 :
lha bagaimana?


1 komentar:
ini pengalaman waktu di recovery merapi 2010, (terakhir kesana 2011) dan membekas trauma...
Posting Komentar