Pages

Ads 468x60px

Minggu, 04 November 2012

INSPIRING Journey Edisi Recovery



Terkadang memang semangat itu naik dan turun. Iya kan? Suatu kali, kita akan bersemangat sekali menyambut suatu seruan, kegiatan atau apapun itu. Apalagi sesuai bakmi (bakat, minat maksudnya..) dan kita mau melakukannya tanpa pamrih. Tapi bisa jadi suatu saat semangat kita akan turun di titik nadir. Seolah hidup segan tapi mati pun tak mau.

-------------------
-mb, posko bsk ad agnda apa y? Q ndak ada kuliah kq hr ini. .-
Malam itu kuputuskan bertindak sesuai keinginan hati. Sudah dua pekan aku tak menengok aktivitas recovery di lereng Merapi. Aku rindu keriangan santri TPA, ibu–ibu PKK atau bapak–bapak yang sekedar nongkrong di depan barak pengungsian sambil menikmati kepulan asap rokoknya. Besok, aku ingin ke posko melepas kerinduanku itu. Terlepas dari koordinator, jadwal ataupun relawan yang belum bisa menyesuaikan waktu kuliah dengan kegiatan posko.
Dret …. Dret … HP jadul itu bergetar. 1 message received. Siapa ya?
-bsk j1 ada pelatihan ibu2 buat deterjen. Yuk, ikut. Adhek ksg boncengan? Mw nebeng ni :-)
-ok, mb. ksg kok. Bsk ktmu d kos mb aja y. C U,sist-
------------------------------------
“Masuk dulu, dhek. Mbak mau sholat bentar. Lagian masih panas banget. Nanti setengah satu kita jalan,” kata mbak Ica, yang tadi malam mengajak ke posko.
“Oke, Mbak.”
-Da, q g ikut naek dlu y, ntar jam 4 trnyata ad kuliah-
-Y, not mind,,-
Memang, kuliah adalah prioritas. Dan ini kegiatan relawan. Bukan paksaan, bukan pula kewajiban.
“Dhek, ntar lewat jalan baru yuk. Lebih cepet lho, “ tawar mbak Ica.
“Heum, boleh-boleh. Tapi,  ntar nyampe mana itu jalan ya, Mbak?” tanyaku penasaran.
“Ya udah ntar dicoba aja. Hehe. Ntar nyampe km.14. Yuk kita berangkat. Ntar telat lagi,” ajak Mbak Ica.
Bismillah. Brum … brum …Wuzz
Aku bersama Mbak Ica melesat mengejar waktu karena ternyata trainer yang akan mengisi pelatihan buat deterjen sudah tiba di tempat. Haduh. Sedangkan kita baru berangkat. Butuh waktu sekitar setengah jam. Aku berpikir, km.14 itu letaknya di sekitar kampus swasta di lereng Merapi sana. Apa mungkin ada jalan tembus sampai kesitu. Lagian juga terbayang lebih jauh. But, let’s we check it out.
“O..Ow, jalannya banyak belokan, “ kataku sedikit gusar. Aku tak terbiasa mengendarai motor dengan kecepatan tinggi di jalanan banyak tikungan. Pikirku, menambah waktu perjalanan, karena naik turun gas tak stabil layaknya jalan lurus. Tapi, ya sudahlah.
“Iya, Dhek. Biasanya kita juga lewat sini. Bisa lebih cepet,” kata Mbak Ica sedikit menenangkan.
Jalanan mulai menanjak. Hawa dingin menyeruak diantara rerimbunan pepohonan. Sepi. Tak ada rumah penduduk. Mendung mulai menyelimuti langit lereng Merapi. Cuaca yang ekstrim dan berubah dengan tiba – tiba.
Hatiku resah. Ada apakah ini? Motor terasa berat, padahal biasanya gigi 4 pun bisa melaju mulus di tanjakan. Ini gigi 3, tapi rasanya berat sekali aku menarik gas motor di tanjakan itu. Tiba – tiba …
Brumm…
Motorku melaju kencang. Gas tak bisa dikendalikan. Panik. Calm down, calm down, please! Aku menenangkan diriku dalam hati. Tindakan cepat, ku coba turunkan gigi menjadi gigi 2. Tak bisa. Haduh, gimana ini. Oh, ya, senjata pamungkas.
Ctek, citttt …
Kontak ku matikan. Tak peduli masih di posisi gigi 3.
“Astagfirullah, ada apa, Dhek? Motornya macet ya?” tanya Mbak Ica kaget.
“Ini Mbak, gasnya manjer1. Ndak bisa diturunkan, jadi ya tak matikan aja mesinnya. Kalo dipaksa, entar nabrak dong,” jawabku sedikit emosi.
“Trus, gimana solusinya?” Mbak Ica bertanya.
“Ya, terpaksa, dituntun Mbak. Mbak, minta tolong didorongin ya, jalanan nanjak begini juga. Kita cari bengkel terdekat dulu aja,” kataku.
“Oke,” Mbak Ica setuju.
Bercucur keringat kami mendorong motor. Jalanan menanjak, di tengah hutan lagi, jelas tak ada rumah penduduk.
“Dhek, tu ada bengkel di kanan jalan. Ada truk, tapi kayaknya bisa buat benerin motor kok. Alhamdulillah,” seru Mbak Ica kegirangan. Wajar saja. Kami sudah telat di agenda yang kami buat. Sementara, motor trouble juga.
Dherek langkung, Pak. Nyuwun ngapunten. Motor menika kadose gas ipun manjer. Kinten–kinten, saged ndandosi mboten njih wonten mriki?2 tanyaku ke salah satu bapak yang duduk di bangku depan bengkel.
Oh, niku lho Mbak, mas’e ingkang kagungan bengkel wonten ngandhap trek. Kadose saged kok, Mbak3,” kata bapak–bapak tadi. Ternyata beliau juga ‘korban’ ban kempes.
Saged, Mbak. Biasane nggih do ngetenniku, gas manjer. Badhe wonten pundi to, Mbak?4 tanya mas yang di bawah truk.
Dateng Ploso, Pak. Emm, menawi kulo tilar mawon motore pripun njih? Menika sampun badhe wonten kegiatan wonten mrika5,” ku menjelaskan tujuanku kepada mas itu.
Nggih, Mbak. Mboten nopo–nopo6, “ jawab Masnya melegakan hatiku. Aku tahu, memperbaiki gas manjer agak memakan waktu, sedangkan kita terburu – buru.
Mangkih, dugi jam pinten njih menika bengkel bikakipun?7 tanyaku hampir kelupaan.
Jam gangsal, Mbak.8
Oke. Ku serahkan kunci motor kepada mas–mas yang akan memperbaiki motorku. Bismillah. Semoga tidak terjadi apa-apa. Aku belum mengetahui karakter orang daerah lereng ini. Innallaha ma’ana9. Perjalanan kami lanjutkan dengan jalan kaki. Hitung–hitung olahraga. Lumayan, 2 kilometer cukup membuat keringat kembali bercucuran di tengah gerimis yang mulai turun. Iseng kulihat jam di HP. 2:23 pm.
------------------------------------
Bakda sholat Maghrib. Aku sedikit review kegiatan sore tadi. Pelatihan pembuatan deterjen berjalan lancar. Walaupun hujan turun, tak menggoyahkan semangat ibu–ibu di salah satu barak pengungsian. Ya, disamping mendapatkan keterampilan, mereka juga diselingi dengan pengukuran tensi gratis. Beserta mereka, guyonan10 ala desa pun mengalir dari ibu–ibu tersebut. Sedikit menghilangkan kepenatan kami.
Jam empat kita mulai dengan TPA adhek–adhek pengungsian. Bertapa rindunya aku terhadap mereka. Keriangan, keceriaan dan kepolosan mereka sejenak melepaskan diriku dari segudang aktivitas dan tugas kampus.
------------------------------------
“Dhek, keburu pulang ndak ni?” tanya Mbak Ica mengagetkanku.
“Oh, ya sebenarnya ini diminta mampir belanja juga sama kakak. Lha pripun tekno?11” tanyaku.
“Emm, nemenin adhek–adhek belajar ya. Nyampe isya aja kok. Bisa ya?” Mbak Ica berusaha membujukku.
“Gimana ya? Umm, bingung. Ngerjain PR ya ,Mbak mereka?”
“Yups, bisa kan?” harap Mbak Ica dengan senyumnya.
“Oke, deh. Tapi nyampe isya aja kan, Mbak? He, maklum, khawatir pulangnya kemaleman ni,” rajukku pada Mbak Ica yang mulai sibuk menyambut kedatangan adhek–adhek.
“Hayuk, yang mau belajar kelas satu sampe tiga SD dengan Mbak Ica ya, yang kelas empat sampe enam dengan Kak Purwo. Ada yang SMP?” instruksi dari Mbak Ica.
“Ada Kak. Aku sama Ais,” gadis perempuan bernama Nur itu menjawabnya.
“Oke, belajarnya sama Mbak Ida ya,” Mbak Ica menjawab sambil menoleh kepadaku seakan meminta persetujuan.
What? SMP. Heum. Aku baru pertama kali bersua lagi dengan mata pelajaran setelah dua tahun lalu aku menjadi tentor privat. Masih ingatkah aku? Tanpa aku sadari, dua dara manis itu telah menunggu di depanku. Buku telah siap. Pensil di tangan.
“Kita belajar apa ya untuk hari ini?” tanyaku memecah keheningan diantara mereka.
“Ini, Mbak. Ada PR matika. Ini lho, halaman 13 ada dua soal, halaman 15 ada 3 soal. Bingung, Mbak,” Ais mulai dengan penjelasannya.
“Heum, matika ya. Oke, kita coba kerjain sama-sama ya. Mbak juga udah lupa–lupa ingat gitu,” ajakku merendah. Tapi memang aku juga sudah agak melupakan mata pelajaran, apalagi matematika.
“Ni Mbak. Nomer dua ini tu ndak ada contohnya di buku. Jadi kita ndak bisa ngerjain,” tambah Nur menyatakan ketidakbisaannya mengerjakan PR.
“Oke–oke. Santai ya. Kita coba satu persatu, Let’s do! Hehe,” ku coba menenangkan mereka.
PR tentang segitiga, derajat dan menggambar segitiga dengan busur. Ya, ku buka–buka buku itu memang tidak lengkap. Akan tetapi, mereka semangat sekali dalam mencari jawabnya. Ku ajari mereka dengan hati–hati. Semoga benar apa yang ku ajarkan, Tuhan.
------------------------------------
Aku pulang dari posko Merapi jam sembilan malam. Sendiri. Sepi. Kondisi di bawah katanya hujan deras ditambah petir. Akan tetapi di lereng Merapi memang tak hujan sama sekali. Aku memutuskan pulang. Aku punya ayah, ibu yang ku yakin, mereka menunggu kepulanganku. Pasti mereka belum makan. Karena aku tahu, mereka tidak akan makan tanpa aku bersamanya. Wait me, Mam and Dad, I love You.
------------------------------------
*teruntuk para relawan, recovery itu pasti, entah kita bersama mereka ataupun tidak. teruntuk adhek–adhek, ibu–ibu dan segenap warga Merapi, terimakasih atas ilmu, pengalaman dan kedekatan. tak ada yang lebih indah selain kebersamaan dalam suka dan duka. Tetap SEMANGAT*
#Maafkan aku sudah tak bersama lagi, semoga hal kecil yang kulakukan, bermanfaat#

Keterangan:
manjer1: kondisi sepeda motor dengan gas yang tidak bisa diturunkan karena karburator macet.
Dherek langkung, Pak. Nyuwun ngapunten. Motor menika kadose gas ipun manjer. Kinten – kinten, saged ndandosi mboten njih?2: Permisi, Pak. Mohon maaf. Motor ini kelihatannya gas tidak bisa diturunkan. Kira – kira, bisa diperbaiki di sini tidak ya?
Oh, niku lho Mbak, mas’e kang kagungan bengkel ten ngandhap trek. Kadose saged kok, Mbak3 : Oh. Itu lho. Mbak, Masnya yang tukang bengkel ada di bawah truk. Sepertinya bisa kok, Mbak.
Dateng Ploso, Pak. Emm, menawi kulo tilar mawon motore pripun njih? Menika sampun badhe wonten kegiatan ten mrika5 : Pergi ke Ploso, Pak. Emm, jika motor saya tinggal dulu bagaimana ya? Ini saya sudah ada kegiatan di sana.
Nggih, Mbak. Mboten nopo – nopo6 : Ya, Mbak. Tidak apa- apa.
Mangkih, dugi jam pinten njih menika bengkel bikakipun?7 : Nanti buka sampai jam berapa ya bengkelnya?
Jam gangsal, Mbak8 : jam lima.
Innallaha ma’ana9 : Sesungguhnya Allah bersama kita.
guyonan10 : gurauan, bercandaan
Lha pripun tekno?11 : lha bagaimana?




1 komentar:

gangeRtie mengatakan...

ini pengalaman waktu di recovery merapi 2010, (terakhir kesana 2011) dan membekas trauma...