Suasana pemilwa
kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada sosialisasi yang
cukup waktu. Tapi pagi ini, teman-teman KPU harus tetap menggelar pesta
demokrasi ala mahasiswa itu dengan seadanya. Tanpa tenda, tanpa presensi yang
memadai. Semoga berkah ya. Dan Allah menerima ikhtiar teman-teman semua.
Aku pun tak
luput dari mengikuti suasana itu. Sebagai mahasiswa yang masih aktif, wajib
juga kan ikut memilih pemimpin yang diharapkan dapat membawa kebaikan ke depan.
Mungkin ada yang bilang, toh tak ada pengaruhnya untuk pribadi. Jadi, kenapa
harus repot milih orang yang belum tentu kita kenal? Atau ada pula yang bilang,
emang si calon ngasih berapa? Wah, wah, kok pikirannya seperti ini. Apapun kata
orang, bagiku alasannya hanya sederhana. Kita punya andil untul menentukan
pemimpin kita, toh kelak setiap detik apa yang kita lakukan akan
dipertanggungjawabkan. Jika memang penyelenggara tak sempat mengadakan
sosialisasi, kita masih bisa menelusur asal muasal dan seluk beluk si calon
pemimpin kita.
Menjadi lima
besar dalam urutan presensi, membuatku gusar. Mana yang lain? Akhirnya,
gratisan pulsa kumanfaatkan untuk aktivasi teman-teman yang memiliki hak untuk
menyuarakan pilihan mereka. Yang pasti, bukan kampanye, hanya mengajak untuk
datang ke TPS dan memilih sesuai yang diinginkan. Just it. Dan aku memilih
stand by di sekitar TPS, menikmati tahun terakhir merasakan pesta demokrasi ini
sambil menanti agendaku berikutnya.
Agak siang,
kulihat satu teman membawa seorang anak. Awalnya mereka main di air mancur yang
berada di halaman kantor dekanat. Tak lama kemudian sang anak dibawanya
mendekat ke TPS. Kusapa temanku itu dan sedikit berbasa-basi. Ya, biasalah,
lama tak bersua.
Apa yang
biasanya pertama kali kita tanyakan jika bertemu dengan anak-anak? Hemm, kalau
aku biasanya nama, bagaimana dengan teman-teman? Lanjut ya, kutanya namanya
siapa pada sang anak kecil itu. Dengan terbata ia jawab Icha. Kata temanku, ia
termasuk anak penderita DS (down syndrom), makanya ia sekolah di pendidikan
anak usia dini yang memiliki fasilitasi terhadap anak-anak inklusi. Ciri yang
tampak biasanya dari wajag pasti sudah terlihat karena penderita DS memiliki
wajah yang khas. Jika tak percaya, please,
check it.
Dengan bergaun
pink, ia mengajak salim (bersalaman) kepadaku dan beberapa teman-teman yang
duduk disampingku. Oh, ramah sekali dia. Tak cukup satu kali baginya untuk
bersalim, denganku saja sampai 4 kali. Entah berapa kali ia salim dengan
teman-teman yang lain. Semoga ini menjadi penggugur dosa ya, Dhek. Mungkin tadi
kakak ada sedikit prasangka. Semoga Allah mengampuni.
Temanku
menitipkan ia sebentar pada kami. Maklum, TPS lumayan ramai jadi kalau sang
anak dibawa-bawa malah agak kerepotan. “Ayo, duduk sini, Dhek,” ajakku pada
Icha untuk duduk di pangkuanku. Icha langsung mau. Dia memelukku sambil menggigit
jarinya (ini juga biasanya tanda DS kategori ringan/ sedang). Untung ada teman
juga yang paham dengan ABK (anak berkebutuhan khusus), jadi di berusaha untuk
melepaskan gigitan jarinya. Dilihat dari tangannya, ia ternyata memang suka
menggingit anggota badannya sendiri. Kemudian ia beralih bersenandung. Awalnya
tak kupahami apa yang ia dendangkan. Berbekal insting terjemahan bahasa
anak-anak yang biasa masih belum jelas, akhirnya kupahami bait lagunya.
… Merah kuning hijau, Di langit yang biru
Pelukismu agung, Siapa gerangan
Pelangi-pelangi, Ciptaan Allah
Indah bukan.
Bahkan anak sekecil itu sudah ditanamkan bahwa yang menciptakan pelangi itu
Allah. Karena Tuhan kita adalah Allah. Sederhana tapi syarat makna. Ini tauhid
kawan. Dan dia ulangi langi lagu itu sekali lagi. Subhanallah. Aku senang
sekali mendengarnya.
Akhirnya, dia
harus kembali ke sekolah. Ketika diajak pulang oleh temanku yang membawanya, ia
tak mau. Mungkin, ia senang melihat keramaian di kampus. Suasana yang berbeda
dengan sekolahnya. Ia semakin erat memelukku. Dipaksa digendong olehnya, ia
berontak dan tetap memelukku. Subhanallah, begitu erat sekali. Seakan ia tak
mau dipisahkan. Tapi, ia harus kembali ke sekolah. Dengan berbagai bujukan,
beberapa menit kemudian ia bisa melepaskan pelukannya dariku.
Mungkin, engkau
berbeda
Tapi bagiku,
engkau tetap sama
Sama seperti
kami yang menghirup udara dunia
Sama seperti kami
yang dilahirkan dalam fitrah-Nya
Sama seperti
kami yang berusaha untuk selalu dalam tuntunan-Nya
Terima kasih
untuk pelukan hangatnya, Dhek Icha…..


Tidak ada komentar:
Posting Komentar