Pages

Ads 468x60px

Kamis, 23 Mei 2013

Kampungku Oh Kampungku


 
pict: buber dg muallaf 1433
Pekan ini jadwal jadi ojek buat ibunda tercinta. Maklum, ortu tidak bisa naik motor, jadi kalo pergi-pergi jauh, alhasil yang ngangkut (aduh, bahasanya) ya para anaknya. Kali ini kejatah menemani ke beberapa kondangan dan ke taklim. Nah, karena lumayan lama di perjalanan, bunda nyoba buka pembicaraan.
“Nak, itu lho si P sudah hamil 7 bulan lho…”
Whaaat? Apa sih, tiba-tiba ngomongin itu. Hehe, sebentar. Perlu diberikan prolog cerita dulu.
****
Jadi ceritanya, kampung saya di beberapa tahun belakangan ini tingkat amoralnya meningkat. Sebut saja, para pemuda yang kerjaannya hanya nongkrong depan rumah sambil merokok lepas. Aih, bukannya pada kerja malah membakar uang, hehe. Kala malam, biasanya di pertemuan pemuda atau sekedar jagongan saja, pasti berakhir dengan menenggak miras. Entah, kalo dilihat dari kantong, mungkin ya oplosan ato paling nggak murahan. Hemmm.
Menilik ke sedikit yang usia lebih tua, pasangan muda. Pernah masuk ke kamar (dulu waktu masih kecil sih, kan masih suka slithah-slithih) yang disana terpajang deretan botol minuman keras. Waahhh, padahal dia muslim lho. Ada juga yang suka sabung ayam, meski sekarang frekuensinya sudah jarang. Bagaimana yang sudah bapak-bapak? Entah, kalo dulu masih suka main remi (kartu) meski gratis di acara jagongan, ronda, atau sekedar arisan.
Yang pemudinya? Muslim paling cuma 3-4 orang, dulu ada beberapa tapi ya tadi, sudah jadi pasangan muda. Lainnya non muslim. Dan ya Rabb, yang saya tidak tahan adalah ternyata memang perempuan itu ya suka banget ngegosip. Suka menyakiti hati pula, mungkin bagi mereka biasa saja, ibarat bercanda. Tapi kalo lisan tak dijaga, bukankah bisa menyayat?
Dan saya sangat bersyukur, Allah mengirimkan saya ke lingkungan yang kondusif. Saat kawan-kawan pasrah untuk sekolah di dekat desa saja, saya memilih yang di kota. Dengan resiko pergi pulang naik angkot dan pulang pun juga sore. Saya naik motor mandiri baru menjelang UAN SMA, hehe. Tentu setelah punya SIM, meski dengan cara yang saya sendiri agak menyesal (tapi mikir juga ding, kalo misalnya ndak legal, lha sekarang bikin sim kolektif nyatanya masih go a head tuh).
Balik ke kampung saya, yang entah ini disebut sebagai ujian atau apa. Tentang pernikahan ‘pek nggo’ atau pasangan tetangga. Tidak masalah sih, kan ini asiknya misteri jodoh, hehe. Nah, yang jadi masalah adalah ketika pernikahan ini dinodai dengan yang namanya married by accident. U know? Ya, si wanita hamil duluan, tentu sebelum nikah. Astaghfirullah, mereka muslim kawan. Saya tak habis pikir, howcome gitu lhoh?? Ahh, ternyata memang jamak sekarang. Na’udzubillah. Nah, lho. Kalo sudah kejadian si wanita hamil duluan, bagaimana? Ya kalo si pria bertanggung jawab sih biasanya dinikahi. Saat peresmian, kita bisa lihat si wanita berbalut busana ketat dengan perut buncit. Ahhh, tidak. Pemandangan yang mengerikan sekaligus membuat istighfar. Kalo bukan kerana tetangga sekampung dan tentunya diundang (kalo ndak diundang alhamdulillaah, hihihi), sepertinya saya tidak akan menghadiri pernikahan seperti itu.
Satu persatu para lajang, bujang di kampung menuju pelaminan masing-masing. Tapi, hanya sedikit yang tidak digosipkan MBA (fakta ding). Pemuda non muslim pun begitu. Sebut saja si I, masih ABG lah, wong baru kelar SMA (ndak tau kelar apa nggak, soalnya saya pun ragu). Lah tiba-tiba gosip nikah diam-diam sampai juga ditelinga saya, astagfirullaah. Kok denger gosip sih. Dua bulan kemudian fakta pun terlihat dari adanya gundukan tanah di pojok rumah yang diberi penerangan saat malam hari. Itu tandanya, ada bayi habis lahir, dan itulah tempat plasenta dikubur (ini adat Jawa). Oalah, berarti mereka nikah saat si wanita sudah hamil 7 bulan. Si A yang juga menikah saat sudah hamil 4 bulan, atau yang barusan kemarin sudah hamil 5 bulan baru nikah. Oalah, jaman sekarang anak-anak ini suka banget pada bikin syok orang tuanya. Saya dengar orang tua mereka ada yang pingsan pertama kali mendengar sang anak sudah hamil atau menghamili seseorang. MasyaAllah.
Ada pula cerita menarik tentang pernikahan di kampung ini. Karena kita di Indonesia yang mengharuskan pernikahan satu kepercayaan, alhasil di kampung saya terjadi barter agama. Hemm, maaf saya menyebutnya barter ya. Sebenarnya beban sekali saya tinggal di kampung yang jumlah muslimnya lumayan sih, tapi mau menggandaikan agamanya, red: Islam. Mengatasnamakan pernikahan dan kadung ada benih tertanam. Kalo pindahnya ke Islam, alhamdulillaah. Minimal tambah skuad, meski tidak boleh dilepas begitu saja karena pasti butuh banyak bimbingan. Islam tidak sekedar berucap syahadat. (Jadi teringat diskusi saya dengan seorang teteh, masih punya PR untuk konsep ngaji/ mentoring bagi para muallaf).
Nah, bagaimana kalo pindah itu dari Islam ke non muslim? Innalillah. Contoh kasusnya yang jelas adalah si wanita sudah kadung hamil, sedang ia muslim. Dan si pria mau bertanggungjawab (menikahi) jika si wanita pindah ke agama si pria (non muslim). Hayooo, brabe kan. Siapa yang rugi? Ini gosip terhangat di bulan ini, wallahu a’lam. Saya tidak tahu kebenaran ini, si pria pun terkesan biasa saja. Jadi, nanti kita lihat di pengadilan…lhoh, kok malah nyambung ke kata-kata bang JB, hehe.
Contoh yang samar adalah begini, si pria yang non muslim akhirnya pindah ke islam untuk memuluskan pernikahan. Setelah ada 3 anak, si pria ini ingin kembali lagi ke agama sebelumnya. Nah, bagaimana nasib si wanita? Jika dia tegar dalam islam itu Alhamdulillah sekali. Tapi, jika tidak? Ahh, lagi-lagi tergadai. Biasanya ini terjadi di desa, dengan pasangan yang kondisi perekonomiannya tingkat bawah, atau tidak mencukupi lah. Para non muslim memang hobi banget nih, awalnya ngasih beras sekarung. Kali lain datang membawa bahan pokok, lama-lama dibilang kamu tak kasih sembako tapi pindah agama dong. Macam barter bukan?
Ini fakta kawan!
Mari kita balik ke topik awal. Kira-kira, ada yang tahu kenapa bisa seperti ini? Salah satunya adalah bermula dari pacaran. Mula-mula cuma kenalan, lama-lama minta pegang tangan. Awal cuma sekedar tukeran no. hape, ujungnya bisa nginep, jadi brabe. Dulunya cuma ala kadar ketemuan, eeee, sekarang berdua-duaan tanpa ingat jam makan.
Astaghfirullaahh.
****
“Ohh, gitu to, Bun. Kok bisa, bukannya beda agama kan?”
“Ya, lha pacarannya kan lama..”
“Iya sih, Bun. Lha terus?” Hehe, saya kepancing juga pengen tahu.
“Ya ndak tahu, ortunya si P kan ndak mau kalo diajak pindah agama. Si prianya juga kenceng kalo ndak di gereja ndak mau nikahi.”
Nah, lhoh….
Ini bukan masalah mengumbar aib, tapi mari kawan kita membuka mata. Mari bekerja di dunia nyata, semampu dan seoptimal kita (Aih, menampar saya juga rupanya). Biarlah segelintir orang saja yang mengurusi pelurusan fakta yang akhir-akhir ini menjemukan otak kita. Mari kita kerja, benahi moral pemuda bangsa kita.

Salam CINTA


Tidak ada komentar: