Pekan ini jadwal jadi ojek buat ibunda
tercinta. Maklum, ortu tidak bisa naik motor, jadi kalo pergi-pergi jauh,
alhasil yang ngangkut (aduh, bahasanya) ya para anaknya. Kali ini kejatah
menemani ke beberapa kondangan dan ke taklim. Nah, karena lumayan lama di
perjalanan, bunda nyoba buka pembicaraan.
“Nak, itu lho si P sudah hamil 7 bulan
lho…”
Whaaat? Apa sih, tiba-tiba ngomongin
itu. Hehe, sebentar. Perlu diberikan prolog cerita dulu.
Jadi ceritanya, kampung saya di
beberapa tahun belakangan ini tingkat amoralnya meningkat. Sebut saja, para
pemuda yang kerjaannya hanya nongkrong depan rumah sambil merokok lepas. Aih,
bukannya pada kerja malah membakar uang, hehe. Kala malam, biasanya di
pertemuan pemuda atau sekedar jagongan saja, pasti berakhir dengan menenggak
miras. Entah, kalo dilihat dari kantong, mungkin ya oplosan ato paling nggak
murahan. Hemmm.
Menilik ke sedikit yang usia lebih
tua, pasangan muda. Pernah masuk ke kamar (dulu waktu masih kecil sih, kan
masih suka slithah-slithih) yang disana terpajang deretan botol minuman keras.
Waahhh, padahal dia muslim lho. Ada juga yang suka sabung ayam, meski sekarang
frekuensinya sudah jarang. Bagaimana yang sudah bapak-bapak? Entah, kalo dulu
masih suka main remi (kartu) meski gratis di acara jagongan, ronda, atau
sekedar arisan.
Yang pemudinya? Muslim paling cuma 3-4
orang, dulu ada beberapa tapi ya tadi, sudah jadi pasangan muda. Lainnya non
muslim. Dan ya Rabb, yang saya tidak tahan adalah ternyata memang perempuan itu
ya suka banget ngegosip. Suka menyakiti hati pula, mungkin bagi mereka biasa
saja, ibarat bercanda. Tapi kalo lisan tak dijaga, bukankah bisa menyayat?
Dan saya sangat bersyukur, Allah
mengirimkan saya ke lingkungan yang kondusif. Saat kawan-kawan pasrah untuk
sekolah di dekat desa saja, saya memilih yang di kota. Dengan resiko pergi
pulang naik angkot dan pulang pun juga sore. Saya naik motor mandiri baru
menjelang UAN SMA, hehe. Tentu setelah punya SIM, meski dengan cara yang saya
sendiri agak menyesal (tapi mikir juga ding, kalo misalnya ndak legal, lha
sekarang bikin sim kolektif nyatanya masih go
a head tuh).
Balik ke kampung saya, yang entah ini
disebut sebagai ujian atau apa. Tentang pernikahan ‘pek nggo’ atau pasangan
tetangga. Tidak masalah sih, kan ini asiknya misteri jodoh, hehe. Nah, yang
jadi masalah adalah ketika pernikahan ini dinodai dengan yang namanya married by accident. U know? Ya, si
wanita hamil duluan, tentu sebelum nikah. Astaghfirullah, mereka muslim kawan.
Saya tak habis pikir, howcome gitu
lhoh?? Ahh, ternyata memang jamak sekarang. Na’udzubillah. Nah, lho. Kalo sudah
kejadian si wanita hamil duluan, bagaimana? Ya kalo si pria bertanggung jawab
sih biasanya dinikahi. Saat peresmian, kita bisa lihat si wanita berbalut
busana ketat dengan perut buncit. Ahhh, tidak. Pemandangan yang mengerikan
sekaligus membuat istighfar. Kalo bukan kerana tetangga sekampung dan tentunya
diundang (kalo ndak diundang alhamdulillaah, hihihi), sepertinya saya tidak
akan menghadiri pernikahan seperti itu.
Satu persatu para lajang, bujang di
kampung menuju pelaminan masing-masing. Tapi, hanya sedikit yang tidak
digosipkan MBA (fakta ding). Pemuda non muslim pun begitu. Sebut saja si I,
masih ABG lah, wong baru kelar SMA (ndak tau kelar apa nggak, soalnya saya pun
ragu). Lah tiba-tiba gosip nikah diam-diam sampai juga ditelinga saya,
astagfirullaah. Kok denger gosip sih. Dua bulan kemudian fakta pun terlihat
dari adanya gundukan tanah di pojok rumah yang diberi penerangan saat malam
hari. Itu tandanya, ada bayi habis lahir, dan itulah tempat plasenta dikubur
(ini adat Jawa). Oalah, berarti mereka nikah saat si wanita sudah hamil 7
bulan. Si A yang juga menikah saat sudah hamil 4 bulan, atau yang barusan
kemarin sudah hamil 5 bulan baru nikah. Oalah, jaman sekarang anak-anak ini suka
banget pada bikin syok orang tuanya. Saya dengar orang tua mereka ada yang
pingsan pertama kali mendengar sang anak sudah hamil atau menghamili seseorang.
MasyaAllah.
Ada pula cerita menarik tentang
pernikahan di kampung ini. Karena kita di Indonesia yang mengharuskan
pernikahan satu kepercayaan, alhasil di kampung saya terjadi barter agama.
Hemm, maaf saya menyebutnya barter ya. Sebenarnya beban sekali saya tinggal di
kampung yang jumlah muslimnya lumayan sih, tapi mau menggandaikan agamanya,
red: Islam. Mengatasnamakan pernikahan dan kadung ada benih tertanam. Kalo pindahnya
ke Islam, alhamdulillaah. Minimal tambah skuad, meski tidak boleh dilepas
begitu saja karena pasti butuh banyak bimbingan. Islam tidak sekedar berucap
syahadat. (Jadi teringat diskusi saya dengan seorang teteh, masih punya PR
untuk konsep ngaji/ mentoring bagi para muallaf).
Nah, bagaimana kalo pindah itu dari
Islam ke non muslim? Innalillah. Contoh kasusnya yang jelas adalah si wanita
sudah kadung hamil, sedang ia muslim. Dan si pria mau bertanggungjawab
(menikahi) jika si wanita pindah ke agama si pria (non muslim). Hayooo, brabe
kan. Siapa yang rugi? Ini gosip terhangat di bulan ini, wallahu a’lam. Saya
tidak tahu kebenaran ini, si pria pun terkesan biasa saja. Jadi, nanti kita
lihat di pengadilan…lhoh, kok malah nyambung ke kata-kata bang JB, hehe.
Contoh yang samar adalah begini, si
pria yang non muslim akhirnya pindah ke islam untuk memuluskan pernikahan.
Setelah ada 3 anak, si pria ini ingin kembali lagi ke agama sebelumnya. Nah,
bagaimana nasib si wanita? Jika dia tegar dalam islam itu Alhamdulillah sekali.
Tapi, jika tidak? Ahh, lagi-lagi tergadai. Biasanya ini terjadi di desa, dengan
pasangan yang kondisi perekonomiannya tingkat bawah, atau tidak mencukupi lah.
Para non muslim memang hobi banget nih, awalnya ngasih beras sekarung. Kali
lain datang membawa bahan pokok, lama-lama dibilang kamu tak kasih sembako tapi
pindah agama dong. Macam barter bukan?
Ini fakta kawan!
Mari kita balik ke topik awal. Kira-kira,
ada yang tahu kenapa bisa seperti ini? Salah satunya adalah bermula dari
pacaran. Mula-mula cuma kenalan, lama-lama minta pegang tangan. Awal cuma sekedar
tukeran no. hape, ujungnya bisa nginep, jadi brabe. Dulunya cuma ala kadar
ketemuan, eeee, sekarang berdua-duaan tanpa ingat jam makan.
Astaghfirullaahh.
****
“Ohh, gitu to, Bun. Kok bisa, bukannya
beda agama kan?”
“Ya, lha pacarannya kan lama..”
“Iya sih, Bun. Lha terus?” Hehe, saya
kepancing juga pengen tahu.
“Ya ndak tahu, ortunya si P kan ndak
mau kalo diajak pindah agama. Si prianya juga kenceng kalo ndak di gereja ndak
mau nikahi.”
Nah, lhoh….
Ini bukan masalah mengumbar aib, tapi mari
kawan kita membuka mata. Mari bekerja di dunia nyata, semampu dan seoptimal
kita (Aih, menampar saya juga rupanya). Biarlah segelintir orang saja yang
mengurusi pelurusan fakta yang akhir-akhir ini menjemukan otak kita. Mari kita
kerja, benahi moral pemuda bangsa kita.
Salam CINTA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar