Ternyata, sudah tujuh tahun berlalu
sejak gempa Jogja di hari Sabtu pagi tanggal 27 Mei 2006 silam. Dan di pagi
ini, ingin sedikit berbagi kenangan dahulu itu. Dikala banyak orang yang
kemudian mencibir kerja-kerja kami, di saat banyak orang mungkin hanya bisa
sekedar komen atas pemberitaan di media.
***
Sabtu pagi, saat itu saya sudah
selesai bersih diri, tapi memang posisi masih di sekitar sumur. Tiba-tiba bumi
bergetar, tembok pembatas belakang rumah
bergoyang agak keras. Dan kulihat pula genting rumah berjatuhan ke dalam sumur.
Di lorong rumah, terlihat dinding tembok lepas dan memperlihatkan susunan batu
batanya. Oh, tadinya pengen lari masuk rumah (baru dipikir, ini tindakan bodoh
sekali, jika ada gempa malah mau masuk rumah…)
Subhanallaah, astaghfirullaah. Kata
itu tergugu dari mulut yang gemetar ketakutan. Astaghfirullah, hamba masih
naif, digoncang sedikit saja sudah kalap.
Berisiklah para tetangga
berteriak-teriak dan membunyikan kentongan. Membangunkan manusia dikala waktu
memang belum terlalu siang, masih jam 6 kurang sedikit.
Goncangan akhirnya berhenti, dan
alhamdulillaah, kami sekeluarga baik-baik saja. Dua ponakan digendong
masing-masing oleh mas dan mbak ipar saya. Ibu dan bapak pun sudah tenang.
Hehe, ada cerita lucu waktu gempa berlangsung, ternyata ibu malah tidak mau
keluar rumah. Sudah teriak kakak saya memanggil ibu, e…ibu malah meringkuk
duduk di ruang tamu sambil memegang kepala dan tak lupa dzikir dengan kerasnya.
Ah, manusia itu memang kadang begitu. Jika sudah panik, akal sehatnya kadang
dilalaikan, hehe.
Gempa itu menghasilkan retakan cukup
lebar di dinding rumah. Hemm, maklum rumah jaman dulu, masih minim bahan
pengokoh beton. Dan dugaan sementara kami, gempa barusan berkait dengan Gunung
Merapi yang lagi “in action”. Tidak terfikir sama sekali ternyata itu berasal
dari Bantul (saya tahu baru ketika di sekolah). Dan saya pun berfikir pula,
tidak ada apa-apa. Alias gempa tadi tidak menimbulkan kerusakan yang berarti.
Jam 6 lebih kami (saya dan kakak)
berangkat. Iseng tetangga bertanya “Kok berangkat, Nak?” Lha, iya berangkat.
Kan ini baru hari Sabtu, jadi tidak libur (kalo jadi mahasiswa mah emang libur…).
Sesampai di jalan raya, sepi. Biasanya
jam segini jalan sudah ramai dengan pengendara baik siswa maupun pegawai yang
akan ke kota, termasuk kami (wah, berarti saya ndeso ya…). Terlihat genting
beberapa rumah sedang dibenahi, ada juga kumpulan orang-orang di pinggir jalan.
Hmmm, aneh, ada apa ya?
Di sekolah, baru ada beberapa teman
yang sudah datang. Mendengarkan kehebohan cerita mereka tentang gempa tadi pagi.
Pas bel masuk kelas, ada beberapa bangku yang kosong, mungkin mereka sengaja
tidak masuk.
Oke, pelajaran pertama adalah seni
rupa oleh pak Sugihadi. (O iya, tahun 2006 itu saya masih kelas satu, jadi
kelas ada di sisi selatan yang dekat dengan parkir dan jalan kampung). Baru
beberapa menit Pak Sugi cerita tentang gempa yang ternyata pusatnya di Bantul,
tiba-tiba di luar ruangan heboh. Dan di selatan kelas kami terdengar bunyi “prang…”,
semacam bunyi botol pecah. (Saya lupa ada gempa susulan atau tidak waktu
kejadian ini).
Pak satpam berlari ke pinggir lapangan
upacara (depan kelas saya) yang disana sudah ada beberapa kumpulan siswa. Entah
beliau bilang apa, tapi saya mengartikannya: kita (siswa) diminta pergi ke
sekolah sisi utara (daerah lapangan basket dan masjid). Siswa berhambur keluar
dan panik. Dan mulailah terdengar isu tsunami. Waahhhh, entah waktu itu saya
mikir apaan, tiba-tiba ikut arus saja. Ikut teman-teman yang pada lari ke
masjid. Saya saat itu posisi di ruang bawah (di area akhwat) dan melihat ada
beberapa orang sedang di tangga masjid yang menghubungkan ke lantai 2. Uniknya,
yang berada di sana adalah siswa non-muslim.
Saya tergugu sebentar, mengingat
tentang tsunami yang melanda Aceh setahun lalu. Ahhhh, apakah saya akan
kehilangan keluarga? Atau saya yang meninggal duluan? Tapi kemudian, kami (beberapa
siswa akhwat) saling berpelukan dan menyadari bahwa kita tidak boleh panik.
Bisa jadi berita tadi hanya sekedar rumor.
Alhamdulillaah, akhirnya terdengar kabar
tsunami itu hanya isu. Kami mendapatkan konfirmasi dari alumni yang datang ke
sekolah (kakak kelas dari badan penanggulangan bencana dan inshaa Allah infonya
valid. Katanya pula, maksud pak satpam menggiring siswa ke sisi utara sekolah
itu karena di sebelah selatan ada teman-teman dari sekolah lain. Ceritanya
mungkin mau tawuran gitu (makanya terdengar bunyi seperti botol pecah karena
memang ada botoh minuman yang sengaja dilempar ke kelas kami dari selatan
sekolah), jadi biar tidak ada korban makanya siswa diminta ke tempat yang lebih
aman. Na’asnya barengan dengan isu tsunami, jadi heboh deh.
Lega rasanya dan kami heboh kembali.
Hhehe, kali ini heboh karena mendengarkan cerita teman-teman saya yang sempat lari
ikut arus ke arah utara sekolah (lewat jalan kampung). Geli mengingatnya
kawan-kawan, betapa ketika panik memang kita tidak bisa membedakan mana isu
mana fakta.
Sekitar jam 10an, saya sedikit
gelisah. Ada berita jalan-jalan macet gegara isu tsunami tadi, angkutan umum
kembali ke kandang (artinya tidak ada angkutan yang beroperasi) dan telepon
terputus. Saya bingung pulangnya bagaimana. Saya terbiasa pulang naik angkot,
tapi kan angkot tak ada. Membayangkan jalan kaki sekitar 17km, Ya Rabb, jauh
amat. Mau minta jemput kakak, kan telepon putus semua. Jaman saya HP belum
banyak yang punya (saya juga belum, jadi mengandalkan telepon umum alias wartel
jika mau telepon kakak). Dan kemudian terfikir oleh saya untuk pulang bareng
temen sedaerah saja (dia kan bawa motor, hehe…).
Ternyata oh ternyata, ada panggilan darurat. Kami, yang tergabung
dalam ekstra PMR (palang merah), dimohon bantuannya untuk recovery korban bencana. Karena saya pengen ikutan, dan teman saya
yang mau saya tebengi juga mau ikutan sebagai tim recovery, jadi kami masih di sekolah. Akhirnya sambil menunggu
gempa susulan (jam11) kami berkumpul di tengah lapangan dan ngobrol, sambil
mempersiapkan beberapa peralatan.
O ya, catatan pula, sejak awal kelas
satu, saya sudah mulai menjadi “penggembira” di salah satu partai, hehe. Maaf
ya, harus pede nih. Emm, dan makanya, kami (tim recovery dari PMR sekolah) diminta kumpul di DPW dahulu untuk
plotting penempatan. Kami ada sekitar 10 orang, dan terbagi menjadi dua
kelompok penempatan.
Tidak ada anjuran untuk tim recovery memakai atribut partai.
(Soalnya saya pernah denger ada temen yang bilang: “jika tidak memakai atribut
partai, tidak boleh ikut membantu recovery.
Sedangkan ia tidak mau jika menolong yang membutuhkan bantuan harus pakai
atribut). Kalo saya, khusnudzon saja, mungkin pemakaian atribut itu dimaksudkan
untuk memudahkan dikenali. Soalnya saya lihat sendiri, di TKP banyak orang
berseliweran, tidak bisa dibedakan mana relawan, mana korban, mana maling (lhoh…hehe).
Setelah ibadah duhur dan makan siang,
barulah kami di drop (bahasanya semoga tidak negatif lah) di daerah Ganjuran
Bantul, yang akhir-akhir ini saya baru tahu disana itu basis non muslim pula
(kan ada semacam bruderan, susteran gitu).
Ya Rabb, sepanjang jalan terlihatlah
hasil gempa tadi pagi. Rumah setengah roboh setengah tegak banyak sekali, yang
rata dengan tanah apalagi. Ada juga rumah yang miring ke kanan, tanggung tidak
roboh, hehe. Semakin bersyukurlah saya, meski rumah juga ada yang rusak, tapi
itu tidak seberapa.
Sesampai di lokasi, ternyata di sana
sudah ada beberapa relawan, mungkin dari PMI. Saya pun mulai bergerak bersama
teman sekelompok (ada 5 atau 6 orang saya lupa. Saya paling muda lho kawan,
soalnya sekelompok tadi isinya kakak tingkat semua. Teman tebengan saya dipisah
kelompok penempatan). Ikut usung-usung kayu reruntuhan bangunan (akhwat tangguh
ya..), dan tentu saja mengobati yang sakit.
Subhanallaah, saya menyaksikan disana
ada seorang ibu yang tertimpa reruntuhan rumah hingga hidungnya terbelah. Tapi
apa yang beliau lakukan? Malah ikut usung-usung kayu, membagikan konsumsi, dan
menolong korban pula. Bukannya beliau juga korban? Saya tanya, kenapa luka di
hidungnya beliau tidak diobati dulu? Si ibu hanya senyum. Luka itu masih
mengeluarkan darah hingga akhirnya saat maghrib sang ibu mau diberikan
pertolongan oleh saya (cuma tak bersihkan dan sementara ditutup pakai kasa dulu
sih).
Tak terasa, asar sudah lewat dan
mendekati maghrib. Saya gelisah lagi, duh ini saya pulangnya gimana. Eh, kami
ding, kan kelompok. Setelah kami di drop tadi siang, mobil yang kami timpangi
harus mobile untuk angkut korban ke rumah sakit juga. Ya Rabb, hamba tidak mau
tersesat disini.
Kakak tingkat yang punya HP pun
mengeluh batre dan pulsanya limit, tapi syukurnya beliau akan mengusahakan
keluarganya dapat menjemput dengan mobil, jadi teman-teman yang lain bisa ikut
serta. Jreng-jreng tahu tidak kawan, mobilnya katana (semacam jeep gitu lah),
mikir: ntar muat nggak ya?
Saya lupa alur ceritanya saya tidak
jadi ikut mobil teman saya tadi. Saya ikut mobil penjemput dari DPW, tapi
membawa korban juga (ceritanya ini mobil ambulan darurat). Hemm, saya lupa bawa
berapa korban, yang jelas ada satu nenek dengan dua kakinya patah. Di sepanjang
perjalanan beliau meng-“aduh” karena banyak goncangan. Saya duduk di depan
dengan 3 orang lainnya, pak supir, si ibu dengan hidung sobek dan satu orang
ibu yang lumayan berbobot. Saya memangku si ibu yang gendut, karena jika beliau
yang duduk, joknya tidak muat. Dan sayalah yang kecil gini jadi pilihan untuk
memangkunya. Kebayang deh rasa pegelnya, sampai kaki saya kebas.
Dengar-dengar, sang nenek yang patah kaki mau dibawa ke rumah sakit di solo
atau klaten, saya lupa. Intinya ke rumah sakit khusus patah tulang.
Oh my God, apa? Jauh bener, terus saya
(kami) pulangnya kapan dong? Haduh, panik lagi deh karena tadi sudah lega ada
mobil penjemput tim recovery. Sambil
deg-degan karena mobil berkecepatan diatas 100km/jam, saya berdoa dalam hati
supaya bisa lekas pulang. Saya belum mengabari keluarga di rumah, gimana
paniknya mereka ya mengingat sampai malam saya belum pulang.
Alhamdulillaah, akhirnya semua korban
diantar ke RSI haji di jalan solo. Meski disana juga sudah penuh, lha wong
pasien saja banyak yang diluar ruangan, tapi masih bisa ditampung. Oke, dan kami
pun balik ke DPW dulu kumpul lagi dengan tim recovery se-SMA, dan kita putuskan segera pulang, sudah hampir jam
9 malam. Karena ada motor yang ditinggal di sekolah, jadilah kami pulang mampir
ke sekolah dulu sambil mengkoordinasikan kepulangan kami.
Alhamdulillaah, dapat bantuan dari
seorang kakak tingkat, boleh pinjan HP untuk menghubungi keluarga. NB, pulsa
juga limit, hehe. Janjianlah saya dengan kakak untuk dijemput di Godean karena
teman tebengan rumahnya arah Godean ke utara, sedang saya masih lurus ke barat.
Seneng banget bisa pulang, dan bisa
ketemu kakak saya (hehe, kan tadi pagi saat isu tsunami saya benar-benar takut
kehilangan orang-orang yang dicintai). Meski di jalan dimarahi, karena tidak
menghubungi orang rumah (lha gimana mau menghubungi, HP tak punya, telepon
putus, HP teman pada limit batre dan pulsa pula). Maaf juga untuk kakak ipar,
malah jadi merepotkan. Mengantar bapak teman saya ke rumahnye beliau lagi
karena tlisipan di jalan. Ternyata tadi waktu di telepon kakak saya berpesan: temenmu
jangan langsung pulang waktu di Godean, soalnya bapaknya sudah dibonceng oleh
kakak ipar saya. Sunnatullahnya, saya tidak mendengar pesan itu dengan jelas,
jaringannya kemrosak banget. Ya sudah, ketika sampai di Godean, teman saya
langsung bablas pulang. (saya lupa peristiwa ini ada bodyguardnya ndak, hehe).
Belum usai cerita saya, karena saya sesampainya
di rumah bingung. Belum sampai ding, lha kakak langsung membawa saya ke masjid.
Ternyata banyak orang di sana, ngungsi (memang sampai malam, masih banyak
terjadi gempa susulan, dan masyarakat sudah parno duluan). Termasuk keluarga
saya. Hemmm, alhasil deh ikutan tidur di emperan masjid. Agak risih memang,
soalnya kan tempat umum, jangan-jangan ntar saya tidur ada yang ngintip lagi.
Okelah, diputuskan tidur dengan pakaian lengkap saja, plus selimut yang tebel
biar mantap.
Mendengarkan ibu cerita heboh juga
tentang isu tsunami. (Oalah, sampai juga ke desa to. Kami yang di kota juga
geger bu…). Katanya tsunami sudah sampai Demakijo. Karena masyarakat sudah ada
bayangan tsunami Aceh tahun lalu, warga kemudian berbondong-bondong bawa bungkusan
pakaian dan naik truk (di desa ada warga yang punya truk). Dibawalah warga ke
daerah pegunungan, ke arah Kulonprogo. Ibuk panik dan bingung, begitu pula
dengan bapak yang akhirnya ikut rombongan truk (bapak itu orangnya slow, kalem). Jalanan macet, Nak.
Pokoknya ibu panik waktu itu, wes ndak ingat punya anak-anak juga (hehe). Ibu
tidak cerita perjalanan itu sampai daerah mana (ibu agak payah di navigasi)
sedang bapak memilih diam (ah, engkau kalem sekali, Pak). Whatever lah, yang
penting sekarang sekeluarga masih bisa berkumpul lagi. Alhamdulillah wa
syukurillah, Ya Rahmaan Ya Rahiim.
Hari berikutnya sudah balik ke rumah,
meski malam itu tidur masih di teras rumah. Semacam trauma gempa nih, tapi
lama-lama biasa juga (masa’ mau tidur di teras terus kan bisa brabe). Pas hari
Ahad pula, jadi warga masyarakat pun mulai bersih-bersih rumah dan membantu
rumah tetangga yang roboh. Alhamdulillaah, di desa tidak ada korban jiwa,
paling cuma simbah-simbah yang lecet terkena runtuhan atap.
Esok hari (Senin pagi) barulah saya
tahu ada kehebohan di teman-teman kelas waktu hari Sabtu malam. Ceritanya saya
dikabarkan hilang (hhe, segede gini bisa hilang??). Jadi, ketika senja saya
belum pulang ke rumah, kakak saya menghubungi kontak teman saya yang ada di HPnya
satu persatu. Dan jawaban teman-teman: tidak tahu. Karena memang saya ikut tim recovery tidak bilang ke orang rumah
(maaf, yang poin ini tidak boleh dicontoh ya, sekarang kan teknologi sudah
canggih, HP hampir tiap orang punya).
Orang rumah yang paling khawatir jelas
ibu, dan memaksa kakak untuk mencari saya, kemanapun. Alhamdulillah, kakak inisiatif
ke satu-satunya rumah teman saya yang dia tahu (yang kebetulan membonceng saya
pulang tadi). Dan begitulah ceritanya sampai akhirnya saya bisa menghubingi kakak
dan minta dijemput.
***
Jika ada pembaca yang juga menjadi saksi atas beberapa episode di atas, mohon dikoreksi ya, jika ada yang salah...
Sekilas
diatas, cerita tentang kerja kecil saya yang masih belia. Saat itu saya
benar-benar tidak terfikir untuk buru-buru pulang ke rumah dan berkumpul dengan
orang-orang yang saya cintai. Saya merasa, ada yang membutuhkan sedikit uluran
dari tangan yang rapuh ini.
Untuk
mereka yang tidak suka dengan kerja-kerja kami, tidak mengapa. Kami akan terus
bekerja semampu daya. Dan kami pun tidak butuh ucapan terima kasih atau
embel-embel sanjungan.
Mungkin,
cerita di atas tidak berarti apa-apa bagi pembaca, tapi sangat membekas di hati
saya.
Salam
CINTA dan semangat Kerja dalam harmoni semesta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar