Terbersit hati untuk hidup lebih mandiri. Maksudnya, sedikit menjauh dari orang tua. Keinginan saya untuk mondok (meski masih di wilayah Jogja) muncul sejak tahun 2009. Keinginan untuk merasakan bagaimana mengatur hidup sendiri, persis ketika hampir menginjak usia kepala dua. Bagaimana tidak, saya dari lahir, sekolah dari TK sampai dengan kuliah masih di kota asal. Bukan tidak bersyukur, saya sangat bersyukur, alhamdulillah.
Lagi-lagi, keinginan itu kabur. Hitung-menghitung, saya belum bisa menanggung biaya untuk mondok tersebut (khusnudhon diterima, hehe). Pasalnya, biaya mondok dengan biaya di rumah, sangat berbeda. Di rumah saya tidak mikir uang makan, uang kos (hehe, walaupun saya memperlakukan rumah mirip kos juga), dan beberapa pengeluaran lain yang jika saya di rumah itu tidak masuk daftar cost bulanan saya. Dan saya bukan tipe anak peminta (walau kita memang berhak meminta kepada orangtua). Sebenarnya mungkin itu hanya alasan saja, bukankah kita harus yakin ketika mempunyai pilihan? Tentu setelah kita memantapkan pilihan kita adalah yang Allah ridhai (bisa dengan istikharah kan...). Lebih jauhnya adalah karena saya tidak tega meninggalkan orang tua saya. Hiks-hiks.
Ya, saya adalah anak rumahan. Dengan kondisi anak terakhir, perempuan, dan yang masih gadis. Di usia kedua orang tua saya yang menginjak renta, bukan tidak mungkin mereka sangat ingin berdekatan dengan anak-anaknya. Terutama ibu, yang sekedar ingin didengar ceritanya setiap hari. Yang membutuhkan bantuan saat pagi hari mengurus rumah tangganya. Atau bapak yang sekedar ingin ditemani ke rumah sodara (ibu-bapak saya tidak bisa naik motor, alhasil saya jadi tukang ojeknya, alhamdulillah, tidak perlu ongkos, hehe. Tapi saya juga sangat senang ketika kakak-kakak memboyong mereka pake mobil, hihi, jadi saya tidak wira-wiri gitu).
Sering kali, ketika amanah kampus harus dikalahkan demi urusan rumah ini, saya sangat sedih. Di satu sisi, saya harus membantu orang tua, intinya ada pekerjaan-pekerjaan rumah yang patut dikerjakan. Ibu sebenarnya santai saja saya tidak membantu, tapi hati saya bergolak. Beginikah kita, membalas kebaikan mereka dengan kemahfuman dan toleransi? Beginikah saya, seorang anak perempuan yang tega melenggang pergi saat kondisi rumah masih belum beres?
Di sisi lain, saya juga punya tanggung jawab di kampus.Tak jarang, undangan pukul 6 pagi, atau pukul 7 menghampiri inbox handphone. Tapi apa dikata, itulah waktu-waktu urgent di rumah. Terlebih, saya juga mempunyai siklus metabolisme tubuh yang kurang mapan (gangguan pencernaan). Satu lagi, saya pantang pergi sebelum menelan sarapan, hehe…karena jika tidak sarapan, suhu tubuh akan meningkat dan terjaga sampai saya balik ke rumah (alias badan panas dan berasa banyak angin di tubuh, hehe).
Di sisi lain, saya juga punya tanggung jawab di kampus.Tak jarang, undangan pukul 6 pagi, atau pukul 7 menghampiri inbox handphone. Tapi apa dikata, itulah waktu-waktu urgent di rumah. Terlebih, saya juga mempunyai siklus metabolisme tubuh yang kurang mapan (gangguan pencernaan). Satu lagi, saya pantang pergi sebelum menelan sarapan, hehe…karena jika tidak sarapan, suhu tubuh akan meningkat dan terjaga sampai saya balik ke rumah (alias badan panas dan berasa banyak angin di tubuh, hehe).
Saya tidak mungkin meluncur ke agenda secepat kilat (jarak rumah-kampus kurang lebih 23 km, biasa saya tempuh 35-50 menit sesuai sikon). So, mohon maaf, jika undangan ditujukan dengan jam-jam seperti di atas, saya sering absen. Teringat, hanya beberapa kali saya benar-benar datang pagi hari yaitu saat menjadi panitia ospek (pun itu saya sudah izin telat, baru jam 5 datang di kampus, karena teman-teman yang lain sebelum subuh sudah absen di kampus, hehe), menjadi panitia kegiatan dengan posisi urgent (misal sie acara, pemandu), perjalanan ke luar kota yang jika telat akan sangat mengganggu estimasi perjalanan (eh ternyata, biasanya yang lain juga telat, hemmmf).
Di kampung, saya dikenal sebagai anak yang sok sibuk. Pergi pagi, pulang sore atau bahkan sering malam. Sampai pada heran, ini anak kuliah apa, kok sampai malem gitu? Pernah digosipkan macam-macam, saya cuek. Dikira pacaran? Alamak, hayuk deh Anda jadi bodyguard saya aja kemanapun pergi (sangat senag sekali, jadi kalau pulang malam kan tak repot ngebut di tengah sawah itu, hehe), ntar tau sendiri saya kemana aja. Menjelaskan aktivitas saya yang macam-macam, mereka toh tak mau dengar (atau lebih pasnya mereka kurang faham, karena rata-rata mereka bukan orang yang berpendidikan tinggi). Bukannya lebih asyik gosip daripada fakta? Astaghfirullah.
Maklum, kampung saya bukan kampung agamis. Warganya separoh Islam separoh Kristen. Jadi, jangan heran jika berkunjung ke tempat saya, banyak tu berkeliaran anjing-anjing berbagai jenis (herder, dalmation, yang biasa, atau yang berkaki pendek bertubuh panjang-saya lupa namanya e). Wuih, saya saja yang orang domestik terkadang juga terbirit dikejar mereka, padahal naik motor lho. Asiknya itu, jika lagi azan maghrib, ada beberapa ekor anjing milik mantan pak RT yang berjajar menghadap utara, setiap selesai lantunan azan, mereka mengaum (atau menggonggong ya, soalnya dibilang menggonggong tidak pas, tapi kalau mengaum itu suara serigala, gimana dong?). Pikir saya, oh, inilah cara bertasbih mereka kepada Allah kali ya.
Lanjut ke bagian saya pulang malam. Dan yang saya suka adalah, ketika saya belum pulang, biasanya saya ditungguin lho, hehe. Bapak sering nungguin di teras rumah, atau ibu biasanya nunggu di ruang tamu sambil baca Qur’an atau buku. Ah, sekarang sudah jarang ding, tampaknya mereka kelelahan dan memilih istirahat. Atau jangan-jangan, mereka telah jengah. (Eh), buang jauh-jauh dzon itu, semoga mereka (orang tua saya) dilimpahi keberkahan dan nikmat sehat. Saya cinta mereka, dan inilah kenapa saya bela-belain pulang ke rumah walaupun sudah larut malam (rekor, saya pernah sampai rumah pukul 11an malam, kalau agenda kelurahan mah biasanya jam segitu juga baru kelar, nyampai tekluk-tekluk ni muka nahan kantuk, hehe). Jadi, inilah alasan kenapa saya sering menolak menginap di kos, di rumah teman, atau di SPM dulu ketika masih sering ke lereng Merapi. (maaf ya atas kebandelan ini, hehe, inshaAllah saya bisa menjaga diri, ketika saya yakin baik-baik saja, inshaAllah akan baik juga).
Keinginan untuk mondok terbersit kembali di tahun 2012. Sempat menuliskan di list mimpi saya, mau mondok dengan spesifikasi tahfidz qur’an. Biasalah, kepencut (terpesona) dengan para hafidz dan hafidzah, apalagi yang masih belia, duh Rabb, malu saya. Di forum pekanan saya, agak rendet kalau masalah hafalan, jadi saya butuh penyemangat di luar. Sempat juga saya dengan sahabat perjuangan semasa SMA bikin kompetisi hafalan, nanti siapa yang kalah hafalannya, maka ia dapat iqob menghadal beberapa surat lagi dengan waktu tertentu. Awalnya semangat sangat, tapi entah kenapa tiba-tiba saya lost kontak dengannya sampai saat ini, hiks-hiks. (Padahal, saya sangat rindu denganmu ukhty, saya teringat dulu kita sering murajaah bareng karena kita hampir sama surat yang dihafal).
Ibu saya juga fans berat Ust. Yusuf Manshur yang sekarang sedang gencar dengan gerakan “MENGHAFAL QUR’AN”-nya. Sungguh, ibu berharap sekali saya bisa menghafal Qur’an (saya sangat ingin Ya Rabb, mudahkanlah hamba untuk menghafal dan memahami, tetapi bukan hanya untuk cepat menguasai-dan cepat hilang juga). Di sela-sela aktivitas, beliau juga mesti bilang, jangan lupa tahajud-dhuha. Saya malu, seringnya saya tertidur saat beliau tahajud, saya belum pulang ketika beliau jamaah maghrib-isya’ di masjid kampung, atau saya masih sibuk dengan urusan pagi ketika beliau dhuha.
Lagi-lagi, ternyata aktivitas saya semakin padat dan harus berbagi. Rumah-kampus (kuliah dan amanah), masyarakat (profesi dan kebermanfaatan). Sungguh, masa sulit dimana dalam hati sebenarnya pengen sekali lulus cepat untuk pembuktian bahwa saya (kader-akhwat gitu lho) tidak terganjal masalah akademiknya, hehe. Sok idealis (apalagi saya agak dikenal terutama di fakultas, hehe). Sampai saat ini, masih sering terheran jika mereka melihat saya masih luntang-lantung di kampus, “lho mbak, belum lulus to?” Ahaha, itu pertanyaan menohok, ya Allah, semoga hamba ini lulus tepat waktu (bukan cepat waktu). Aamiin. Mungkin, saya harus alih strategi, bukan mondok tetapi setor hafalan saja di pondok, serupa walau tak sama (ruhnya pasti beda kalau mondok dan santri kalong, hehe).
Ah, keinginan itu sekarang menjauh. Saya menikmati peran sebagai anak rumah. Walau harus berkorban lebih, misalnya dengan teman-teman yang dekat kampus, saya harus menyisihkan waktu lebih lama untuk perjalanan. Tapi itu konsekuensi. Meski berpayah harus siap menerima omongan baik-jelek, tapi aktivitas rumah-kampus-masyarakat tetap jalan. Kadang galau juga sih, nek tubrukan jadwalnya. Meski ngepel lantai dari ba’da subuh sampai jam 11 (waktu kebanjiran 2 kali, di tahun 2011 dan 2012) dan setelah itu demam, rasanya tetap nikmat. Meski akhirnya sering masuk angin (jadi jangan heran jika mendapati saya kemana-mana bawa minyak angin, itu efek), telat makan (karena sering saya tidak cocok dengan makanan yang dijual, saya tidak peka terhadap masalah perut jadi sekalinya salah makan langsung brabe), saya tetap cinta rumah. Meski penat harus mendengarkan semangatnya ibu cerita tentang aktivitasnya hari ini, (maafkan terkadang tidak saya perhatikan, mungkin saya sangat lelah). Atau harus bersyukur masih bisa mengantar mereka dengan motor “pegasus” saya kemanapun mau pergi (sempat mengeluh dulu ketika akhirnya urusan sehari jadi terbengkalai karena ini, astaghfirullah).
Alhamdulillah, saya masih bisa merasakan nikmat itu. Tak perlu merencanakan mudik kapan, karena saya mudik tiap hari. Semoga ini juga merupakan ladang bercocok tanam untuk panen ke syurga. Aaamiin.
Sugeng ndalu.
Sugeng ndalu.


1 komentar:
sedihnya, hari ini pegasus saya masuk IGD, opname lagi, hehe
seomga besok ia sudah bisa dipakai terbang lagi, aamiin.
Posting Komentar