Langit gelap. Membuat ragu bersemayam dalam hati. Tetes demi
tetes sesegera mungkin jatuh ke bumi. Ya, hujan.
“Gimana, hujan
ni?”
Tak apa, berdo’a
saja setelah ashar nanti hujan mereda. Semoga mustajab. Pun jika tidak, toh
masih juga hujan air (biasa kehujanan kan..). Allahumma shoyyiban nafii’a.
Beberapa target
kami singgahi, ditemani guyuran hujan yang semakin deras saja. “Ah, ternyata
kamu gigih juga ya,” kata teman saya. Hehe, saya suka hujan. Tapi bukan hujan yang
derasnya bukan main (yang tipe ini bikin sakit kepala plus dingin membatu).
Hujan rintik-rintik rapat yang cukup membasahi, yang membuat hati terasa ‘mak
cessss…” Karena dengan hujan, saya bisa puas menangis tersamar (ini ni resiko
orang yang kurang bisa curhat dengan manusia lain, hheeee).
Kita sudah
berbasah-basah, masak iya mau putar balik begitu saja. Pikir saya, kita belum
dapat pelajaran untuk marketing hari
ini, jadi mari kita sambut pelajaran itu (entah nanti dapetnya apa, yang
penting dicari dulu). Oke, akhirnya lewat jalan Kusumanegara pelan-pelan.
Target saya (dan partner saya
tentunya) adalah ke warung di jalan miliran. Kemarin saya sempat melihat ada
tanda warung makan yang kami cari: warung makan dengan menu ayam kampung, hehe.
Akhir-akhir ini, saya mengendarai motor agak tidak pake ngebut, mata rada
jelalatan ke kanan-kiri jalan (bukan berarti tidak GB yaaa) dan sumringah
ketika membaca ‘ayam kampung’, hehe…
Awalnya saya
nongkrong di motor sambil menunggu teman saya yang tengah di dalam warung
makan. Saya baru menebak, sepertinya warung ini supplier ayam kampungnya dari
pemilik sendiri, karena sebelumnya saya sempat ke supermarket dan membaca merk
salah satu supplier yang ternyata namanya sama dengan warung makan tersebut. “Mbak,
masuk saja, kebetulan ada bosnya, kita bisa tanya-tanya banyak kayaknya,” kata
temen saya.
Oke deh, walaupun
rada salting karena sebagian pakaian saya basah dan mulai batuk menggugu (Entahlah,
satu sakit ini agaknya masih enggan pergi, sudah diberi jurus jahe hangat,
jeruk nipis, madu, obat herbal, pake akupuntur juga, belum sirna. Mungkin
karena saya juga ngeyel pulang malam terus. Hemm, ngaku salah deh…Obat
manjurnya positive thinking aja). Pembicaraan pun dimulai, makin serius dan ini
dia.
-----------------------
Bukan lulusan
peternakan atau dokter hewan, tetapi sejak kecil beliau sudah berproses menjadi
pengusaha. Berbapak seorang guru PNS yang memiliki 5 orang anak, membuat mereka
pada zamannya diharuskan untuk menikmati proses belajar usaha. Harapannya kelak
mereka menjadi pengusaha, bukan PNS. Kebalikan dengan jaman saat ini, dimana
banyak sekali orang tua yang ingin anaknya menjadi PNS, gaji wah tunjangan
banyak.
Mulai fokus
dalam peternakan ayam, beliau memasarkan sendiri produk panennya. Ayam beliau
titipkan ke simbok-simbok yang pagi buta berjualan keliling perumahan. Alhasil,
sebelum subuh, beliau sudah bertengger di salah satu masjid, ikut jamaah subuh dan
kemudian ‘bertebaran di muka bumi.’ Atau ia antarkan barang pesanan satu ekor,
walaupun tempatnya jauh. Tak lupa, ia berikan label
pada karkas ayam beserta nomor kontaknya. Lama kelamaan, orang perumahan tahu
dan pelanggan mendatanginya (order langsung tanpa lewat bakul). Kalau
dihitung-hitung pada awal, akan sangat kecil, bahkan terlihat rugi. Tapi yang
mahal adalah pembelajarannya. Ibarat kita punya bisnis, menghabiskan 100 juta,
kemudian bangkut. Kita akan berkata dengan mudah: kita gagal. Padahal,
sebenarnya kita sedang membayar pembelajaran senilai 100 juta. Kita tidak rugi,
hanya saja nominal untuk belajar harus dibayar dengan 100 juta tersebut.
Mengetuk satu
pintu ke pintu lain, dari perumahan-rumah makan-warung-gudeg wijilan-mendirikan
rumah potong ayam sampai akhirnya menjadi supplier di supermarket, resto, rumah
makan, dinas, akmil, dll. Memiliki peternakan binaan di Jawa Timur, Solo,
Klaten, Yogya. Subhanallah, hontou desu
ka. Oalah, ternyata beliau memakai sistem plasma. Apa itu?
Beliau sebagai
owner memiliki satu atau dua bakul induk yang membawahi bakul-bakul di
bawahnya. Jadi, beliau tidak menangani jual-beli ayam ke peternak, beliau
mengurusi marketing ke konsumen. Bakul
induk bertugas menyeleksi ayam yang masuk, misalnya kategori karkas supermarket
(ayam jawa super dengan berat 6 ons), ayam goreng 9 ons – 1,2 kg (ayam jawa
asli) dan seterusnya. Sedang para bakul di bawah bakul induk bertugas untuk
mencari peternakan yang dapat menjadi suppliernya.
Bukan hal yang
mudah melewati semua itu. Kala belum terlihat untung, orang dekat pun
mencemooh. Bersusah payah dan berpeluh pun dicibir banyak orang. Ya, beginilah
hakikat pengusaha.
Rahasia sukses
ada tujuh:
1. YAKIN
2. YAKIN
3. YAKIN
4. YAKIN
5. YAKIN
6. YAKIN
dan yang
terakhir adalah...
7. SUPER YAKIN
Begitulah, Allah
bersama prasangka hamba-Nya. Jadi ya yakin saja. Buang jauh-jauh prasangka,
walaupun hanya "mbatin. Misalnya kita sudah sungguh-sungguh berdoa: “Ya
Allah, lapangkanlah rizki kami, lapangkanlah dan lancarkanlah usaha kami.” Saat
perjalanan, kita dihadapkan dengan berbagai kendala yang sulit. Dan tak sadar
hati kita membenarkan: “oh, jangan-jangan….” Nah, inilah “mbatin”.
Kesalahan yang
biasanya terjadi adalah ide usaha, produk usaha, memasarkan produk. Misalnya
ayam kampung. Setelah terpikir ide untuk memulai usaha ayam kampung, lanjut ke
produksi ayam kampung, dan ketika panen kita akan dilanda bingung karena belum
mempunyai pasar produk kita. Sebaiknya, analisis usaha ditindaklanjuti dengan
membuka pasar terlebih dahulu dan banyak berguru kepada pengusaha sejenis yang
sudah sukse. TAK USAH SUNGKAN DAN SEGAN.
Orang biasanya
mau instan. Modal sekian maka dalam hitungan berapa bulan akan balik modal
sekian, atau bahkan untung sekian. Itu teori. Rumit hitung-menghitung BEP, HPP,
dan kawan-kawannya. Eh, ternyata tak jarang pula hitungan itu meleset (tapi ini
bukan dijadikan alasan untuk kemudian tidak menghitung hal tersebut juga yaa…)
hemmmm,
teruslah
berusaha dan berpayah ria
inilah proses
kelak suatu saat
akan 'memanen
buah'nya
dan
engkau akan
berkata...
alhamdulilah,
inilah hasilnya
super sekali
senja hari ini
#bersama rintik
hujan dan segelas teh yang menghangatkan di luar sana



1 komentar:
jadi teringat kembali, beberapa tahun laulu
saat setelah brother kecelakaan dan kehilangan pekerjaan. Jualan roti, sampai rebutan sepeda sama saya (maklum saya masih suka sepedaan, jadi kagak rela kalo sepedanya dipake kakak). Jadi sopir dan pindah kesana kemari. dan akhirnya merintis bisnis travel.
Pernah ditipu? Oh, pernah banget, 30 juta lagi (bagi saya, itu gedhe banget).
Alhamdulillah, sekarang sudah lumayan bisa menjaga pelanggan.
#suka duka pengusaha
Posting Komentar