Pagi yang cerah
malu-malu menyapa. Mengerjakan pekerjaan rumah (bukan PR layaknya anak SD):
menyapu, nyuci piring, liat ibu masak (hhe, cuma liat soalnya dah mau selesai)
adalah luar biasa. Kemudian sarapan pagi bersama ibunda tercinta.So sweet deh…
Entahlah, akhir-akhir
ini saya begitu menikmati di rumah. Jika tidak ada kegiatan keluar, mendingan
mengurung diri di dalam kamar (eh, di rumah maksudnya). Berhubung pula di rumah
sedang ada tukang yang mondar-mandir, jadi saya juga cari aman saja. Lha kalo
keluar musti pake piranti wajib dari ujung kepala sampai kaki, jadinya ya… gitu
deh.
Sambil makan, ibunda,
Mamah saya cerita tentang isi taklim beliau tadi malam. Ceritanya serem, eh,
bukan ding,, lebih ke muhasabah dan menjadikan banyak-banyak istighfar. Di
jogja lantai dua sana, katanya ada mayat yang karena suatu hal harus digali
kembali. Dan Anda pasti sudah menebak, kira-kira bagaimana keadaan sang mayat
tersebut, ini mungkin yang su’ul khotimah. Dengan posisi duduk dan berlumur
darah. Na’udzubillah. Belum selesai ibu cerita, saya sudah gak tahan, tak
bilang: “ntar lagi aja ceritanya ya, Mah” hhe. Nakal banget saya ya. Soalnya
saya itu rada-rada gimana denger yang ada kata-kata darah gitu. Alapagi kita
lagi makan, bisa-bisa balik lagi tu sarapan. Mungkin karena sering saya liat
kecelakaan di jalan (padahal ya orang lain yang kena, tapi saya yang takut…)
Lagian, memang ibuk juga kalo cerita tidak pandang sikon, asal pengen cerita,
ya udah ngalir saja gitu. Nah, pengennya juga sekalian biar ibuk mulai belajar
liat sikon kalo cerita-curhat…
Oke, lanjut dengan
piring masing-masing.
Eh, tak lama kemudian,
ibuk mulai cerita lain dengan topik yang berbeda. Kali ini tentang simbah, eyang
putri saya yang tinggal satu-satunya. Simbah uti, panggilan kami kepada nenek,
sudah tidak bisa berjalan. Ya, aktivitas apapun dilakukan ditempat tidur.
Dan kemarin ibu menengok
beliau. Maklum, dari banyak anak-anak mbah uti, ibu rumahnya paling jauh
walaupun masih satu kecamatan. Jadi, ibu tidak bisa setiap hari menengok nenek.
Nah, kemarin itu ibuk menjumpai nenek dalam kondisi belum makan dan sudah
ditinggal bulik saya ke sawah. Masya Allah, lupa katanya. Hedeuh, bisa-bisanya
punya orang tua, disanding, terus lupa belum diladeni. Ibuk saya nangis melihat
ibundanya diperlakukan seperti itu. Ibunda saya suka banget kalo pas pagi-pagi,
belanja di warung, beli nasi (atau bawa dari rumah), beliin lauk kesukaan mbah
uti: ikan lele atau bandeng. Pasti deh, mbah uti akan lahap makannya.
Hati saya banjir.
Subhanallah, I’m proud of you, my Mom.
Pernah saya yang diminta
untuk mengantar lauk kesukaan mbah uti itu. Tapi, karena saya datangnya
kesiangan, jasi simbah sudah sarapan. Yahhh, ibunda kecewa deh, meski bisa
dibuat lauk nanti siang, tapi kan feel-nya
udah beda. Apalagi nanti kalo itu lauk ketahuan sepupu saya, wah, pasti
diminta.
Terus, adegan berlanjut
dengan wejangan.
“Besok, kalo aku sudah
tua, kamu yang merawat ya. Jangan ditinggal, jangan kayak bulikmu itu. Aku
hanya pesan kepadamu, bukan yang lain.”
Hiks, hiks. Saya tahan
kuat-kuat biar airmata tak jatuh setetes pun (alih-alih, pura-puranya
kepedesan, hhe).
Ya Rabbi, kuatkan jiwa
ini.
Saya bukannya tidak mau,
sama sekali bukan, saya sangatlah senang bisa membalas budi baik orang tua, terlebih
ibu. Sangat mahfum saya, bahkan menggendong orang tua diwaktu haji pun tidak
lebih dari membalas setitik kebaikan mereka? Dibanding dengan merawat di kala
renta, belumlah apa-apa.
Tetapi menjadi yang
terakhir (anak terakhir) itu laksana tumbal. Lho, kenapa? Karena sayalah yang
menjadi satu-satunya harapan terakhir atas cita orang tua yang belum tergapai,
atas banyak kekecewaan.
Walaupun anak ibunda ada
tiga, tapi dua kakak saya sudah berkeluarga. Jadi, sangat maklum mereka sudah
punya keluarga dan urusan sendiri. Sedangkan saya masih bersama orangtua (dan
saya menikmati apapun kondisinya).
“Kenapa hanya aku
seorang yang diwejangi? Kenapa yang lain tidak?”
Ada semacam berontak dan
iri dalam hati. Benar-benar iri. Astaghfirullah, inilah penyakit hati.
Tetapi, hati juga
berkata:
sangat wajar duhai jiwa
seorang ibunda berharap
kepada putri belianya
berharap ada teman di
hari tuanya
berpesan pada yang masih
tersisa
sangatlah wajar duhai
gejolak rasa
ada disaat mereka juga kala
dimanja
layaknya kau dulu saat
balita
bahkan saat dalam rahim
ibunda
berlelah payah ia riang
menyerta
….
Deg.
Tersadar atas pikiran
yang tak baik. Cukup sampai di sini saya beranggapan, inilah yang terbaik
dari-Nya. Saya harus kuat, bertahan dan camkan itu.
“O ya, jangan lupa juga
sama Mbah Tris ya. Kalo sudah bekerja kelak, kasih beliau barang 10-20 ribu, pasti
udah seneng banget. Selama ini Mbah Tris yang sering nengok mbah uti. Ya,
hitung-hitung balas budi juga dengan beliau. Dulu waktu lebaran, mas mu kasih
uang ke mbah uti, tapi tidak ke mbah tris. Mbah tris rasanya gimana gitu. Masih
sodara juga lho. Jadi, kamu besok kalo udah punya gaji, jangan lupa ya.”
Itulah, wejangan pagi
ini yang membuat saya harus menulis disini bercucur airmata. Menjadi pengingat
ketika saya terlupa. Semoga, saya bisa mewujudkan wejangan ibunda saya. Aamiin.


1 komentar:
aa gym:
bila hati ini kian bersih
niscaya akan bisa membaca indahnya kasih sayang-Nya
dalam setiap takdir-Nya
Posting Komentar