Pages

Ads 468x60px

Selasa, 19 Februari 2013

Wejangan Ibunda


Pagi yang cerah malu-malu menyapa. Mengerjakan pekerjaan rumah (bukan PR layaknya anak SD): menyapu, nyuci piring, liat ibu masak (hhe, cuma liat soalnya dah mau selesai) adalah luar biasa. Kemudian sarapan pagi bersama ibunda tercinta.So sweet deh…
Entahlah, akhir-akhir ini saya begitu menikmati di rumah. Jika tidak ada kegiatan keluar, mendingan mengurung diri di dalam kamar (eh, di rumah maksudnya). Berhubung pula di rumah sedang ada tukang yang mondar-mandir, jadi saya juga cari aman saja. Lha kalo keluar musti pake piranti wajib dari ujung kepala sampai kaki, jadinya ya… gitu deh.
Sambil makan, ibunda, Mamah saya cerita tentang isi taklim beliau tadi malam. Ceritanya serem, eh, bukan ding,, lebih ke muhasabah dan menjadikan banyak-banyak istighfar. Di jogja lantai dua sana, katanya ada mayat yang karena suatu hal harus digali kembali. Dan Anda pasti sudah menebak, kira-kira bagaimana keadaan sang mayat tersebut, ini mungkin yang su’ul khotimah. Dengan posisi duduk dan berlumur darah. Na’udzubillah. Belum selesai ibu cerita, saya sudah gak tahan, tak bilang: “ntar lagi aja ceritanya ya, Mah” hhe. Nakal banget saya ya. Soalnya saya itu rada-rada gimana denger yang ada kata-kata darah gitu. Alapagi kita lagi makan, bisa-bisa balik lagi tu sarapan. Mungkin karena sering saya liat kecelakaan di jalan (padahal ya orang lain yang kena, tapi saya yang takut…) Lagian, memang ibuk juga kalo cerita tidak pandang sikon, asal pengen cerita, ya udah ngalir saja gitu. Nah, pengennya juga sekalian biar ibuk mulai belajar liat sikon kalo cerita-curhat…
Oke, lanjut dengan piring masing-masing.
Eh, tak lama kemudian, ibuk mulai cerita lain dengan topik yang berbeda. Kali ini tentang simbah, eyang putri saya yang tinggal satu-satunya. Simbah uti, panggilan kami kepada nenek, sudah tidak bisa berjalan. Ya, aktivitas apapun dilakukan ditempat tidur.
Dan kemarin ibu menengok beliau. Maklum, dari banyak anak-anak mbah uti, ibu rumahnya paling jauh walaupun masih satu kecamatan. Jadi, ibu tidak bisa setiap hari menengok nenek. Nah, kemarin itu ibuk menjumpai nenek dalam kondisi belum makan dan sudah ditinggal bulik saya ke sawah. Masya Allah, lupa katanya. Hedeuh, bisa-bisanya punya orang tua, disanding, terus lupa belum diladeni. Ibuk saya nangis melihat ibundanya diperlakukan seperti itu. Ibunda saya suka banget kalo pas pagi-pagi, belanja di warung, beli nasi (atau bawa dari rumah), beliin lauk kesukaan mbah uti: ikan lele atau bandeng. Pasti deh, mbah uti akan lahap makannya.
Hati saya banjir. Subhanallah, I’m proud of you, my Mom.
Pernah saya yang diminta untuk mengantar lauk kesukaan mbah uti itu. Tapi, karena saya datangnya kesiangan, jasi simbah sudah sarapan. Yahhh, ibunda kecewa deh, meski bisa dibuat lauk nanti siang, tapi kan feel-nya udah beda. Apalagi nanti kalo itu lauk ketahuan sepupu saya, wah, pasti diminta.
Terus, adegan berlanjut dengan wejangan.
“Besok, kalo aku sudah tua, kamu yang merawat ya. Jangan ditinggal, jangan kayak bulikmu itu. Aku hanya pesan kepadamu, bukan yang lain.”
Hiks, hiks. Saya tahan kuat-kuat biar airmata tak jatuh setetes pun (alih-alih, pura-puranya kepedesan, hhe).
Ya Rabbi, kuatkan jiwa ini.
Saya bukannya tidak mau, sama sekali bukan, saya sangatlah senang bisa membalas budi baik orang tua, terlebih ibu. Sangat mahfum saya, bahkan menggendong orang tua diwaktu haji pun tidak lebih dari membalas setitik kebaikan mereka? Dibanding dengan merawat di kala renta, belumlah apa-apa.
Tetapi menjadi yang terakhir (anak terakhir) itu laksana tumbal. Lho, kenapa? Karena sayalah yang menjadi satu-satunya harapan terakhir atas cita orang tua yang belum tergapai, atas banyak kekecewaan.
Walaupun anak ibunda ada tiga, tapi dua kakak saya sudah berkeluarga. Jadi, sangat maklum mereka sudah punya keluarga dan urusan sendiri. Sedangkan saya masih bersama orangtua (dan saya menikmati apapun kondisinya).
“Kenapa hanya aku seorang yang diwejangi? Kenapa yang lain tidak?”
Ada semacam berontak dan iri dalam hati. Benar-benar iri. Astaghfirullah, inilah penyakit hati.
Tetapi, hati juga berkata:
sangat wajar duhai jiwa
seorang ibunda berharap kepada putri belianya
berharap ada teman di hari tuanya
berpesan pada yang masih tersisa
sangatlah wajar duhai gejolak rasa
ada disaat mereka juga kala dimanja
layaknya kau dulu saat balita
bahkan saat dalam rahim ibunda
berlelah payah ia riang menyerta
….
Deg.
Tersadar atas pikiran yang tak baik. Cukup sampai di sini saya beranggapan, inilah yang terbaik dari-Nya. Saya harus kuat, bertahan dan camkan itu.
“O ya, jangan lupa juga sama Mbah Tris ya. Kalo sudah bekerja kelak, kasih beliau barang 10-20 ribu, pasti udah seneng banget. Selama ini Mbah Tris yang sering nengok mbah uti. Ya, hitung-hitung balas budi juga dengan beliau. Dulu waktu lebaran, mas mu kasih uang ke mbah uti, tapi tidak ke mbah tris. Mbah tris rasanya gimana gitu. Masih sodara juga lho. Jadi, kamu besok kalo udah punya gaji, jangan lupa ya.”
Itulah, wejangan pagi ini yang membuat saya harus menulis disini bercucur airmata. Menjadi pengingat ketika saya terlupa. Semoga, saya bisa mewujudkan wejangan ibunda saya. Aamiin.

1 komentar:

gangeRtie mengatakan...

aa gym:
bila hati ini kian bersih
niscaya akan bisa membaca indahnya kasih sayang-Nya
dalam setiap takdir-Nya