Hari ini beliau terluka lagi. Iya,
hati yang hanya seonggok itu, tergores lagi. Lagi-lagi penyebabnya sama.
Hati-hati dengan hati, itu kita yang
berjiwa muda. Lebih fresh mendengar kata ini. Meski terkadang lupa juga,
astaghfirullah.
Tapi buat beliau, apa-apa diambil
hati. Mengaku salah, tapi ada saja alasan untuk bersu’udzon terhadap orang
lain. Ketika salah memarahi anak kecil yang pasti bukan anaknya. Eeee, hari
berikutnya ketemulah beliau dengan si ibu anak kecil yang tempo hari dimarahi.
Mungkin mukanya sedang kesal karena motornya macet di jalan saat hendak
menjemput rizki, makanya ketika ditanya oleh beliau, ia tampang cemberut. Bisa
saja kan? Kita tidak tahu isi hati mereka lho. Jadi, jangan nebak dan sok tahu.
Atau kali lain, beliau iseng tanya
kepada anak mantu ketika mereka sekeluarga akan pergi. “Kalau mau pergi, arisan
bisa nitip ke aku saja, “ kata beliau. Dan sang anak mantu menjawab biar saya
saja antar sendiri sambil jalan keluar sekalian. Eeeee, tahu tidak? Beliau
anggap itu menyakitkan hati. Astaghfirullah. Apakah tidak ada celah untuk
husnudzon dulu? Misalnya: Oh, si anak mantu tidak mau merepotkan mertuanya.
Rileks bukan?
Hati kita ini kecil, hanya seonggok.
Kalau semua hal yang terjadi, dan dianggap buruk oleh hati kita, maka sesaklah
dada ini. Ketika hati sedang senang, hal kecil saja terlalu dibanggakan.
Bisa jadi, inilah penyakit hati. Ia
tak bisa disembuhkan oleh dokter manapun. Teringat perumpamaan, dengan penyakit
fisik saja kita rela keluar uang jutaan hanya untuk kesembuhan. Tapi, dengan
penyakit hati? Kita tanpa sadar memeliharanya dalam dada. Keluarnya apa? Ya
emosi, amarah, dan sakit hati.
Mencintai dan membencilah dengan tidak
berlebihan.
Orang jawa bilang: legowo dan semeleh
sahaja
Pasrah pada takdirNyad
Dan ubah mindset kita, positive thinking yukkk….
#renungan malam


Tidak ada komentar:
Posting Komentar