“Ada uang sekian ndak? Nek ada mau
pinjam dulu buat ngangsur pinjaman,” kata seseorang kepada saya.
“Lah, emang pinjaman di mana lagi?
Bukannya dulu itu sudah lunas ya?” selidik saya.
“Yang dulu iya, tapi kan periode ini
pinjam lagi, dan besok tanggal terakhir ngangsur,” jelasnya.
Percakapan yang membuat saya sedikit
sesak. Walaupun saya belum bekerja (tetap), tapi inshaAllah ada lah rezeki. Kan
yang penting tetap berpenghasilan, bukan berpenghasilan tetap, hehe. Jangan
lupa banyakin sedekah... Dan jika kita hidup di masyarakat, ya itu tadi, siap
saja kalau suatu saat akan dimintai tolong dalam hal pinjam uang. Entah cuma 5
ribu (kalau yang ini saya kasihkan aja meski dia adalah orang non-I), 20 ribu,
dan sampai beratus ribu (mikir kalo yang segini).
Adakah yang berpikir, kenapa mereka
(masyarakat) sampai terusik dan panik dengan masalah satu ini? Beginilah
kisahnya.
Di kelurahan ada badan yang bernama
BKM (badan keswasembadaan masyarakat). Nah, sedikit gamblang terlintas jika
tujuan dari badan tersebut adalah terciptanya keswasembadaan masyarakat alias
kemandirian. Dengan memberikan pinjaman lunak berupa uang untuk modal usaha.
Akan tetapi, mungkin karena karakter dan tipe masyarakat gagap dengan uang,
makanya program kemandirian bisa beda ujungnya.
Alih-alih mandiri, yang ada belitan
hutang. Ya pengen-citanya sih membuat masyarakat mandiri, tapi yang saya lihat
kok malah membuat masyarakat terjebak dalam pusaran pinjam meminjam. Gali
lubang tutup lubang. Belum lagi karena semacam pinjaman, pasti ada bunga.
Wallahu a’lam masuk kategori riba apa tidak.
Dibilang untuk usaha, tapi ya ada-ada
saja alasan untuk membelokkan ke alokasi yang lain. Entah untuk usaha agar
dapur tetap mengepul, bayar SPP anak-anak, sekedar uang saku atau mungkin yang
doyan belanja yang gak penting-penting amat.
Akhirnya pada hari-H, jatuh tempo
pembayaran, setiap ‘yang dipinjami modal’ kelabakan. Cari pinjaman kemana nih?
ke A udah 200 ribu, ke B belum dibayar hutang yang kemarin, ke C takut,
orangnya kaya sih, tapi pelit dan senang banget ngomongin hutang kita ke orang
lain. Hemmmpf. Begitulah kira-kira pikiran kalut mereka.
Ternyata, benar. Terkadang bukan yang
ngasih modal yang salah, tapi para penggunanya yang tidak pada tempatnya
menggunakan modal tersebut. Yang pasti, kebutuhan juga banyak. Jadi, main skala
prioritas dan wajib nge-rem keinginan untuk pengeluaran yang belum prioritas.
Nah, masalahnya kalo urgent semua
bagaimana? SPP anak, makan sehari-hari, uang saku? Saya pun belum mengerti
bagaimana solusinya, karena paling ujung-ujungnya juga pinjam lagi. Nah,
beginilah kondisi akar rumput yang masuk dalam kategori warmis (warga miskin).
Meski demikian, ada juga yang teguh
prinsip menggunakan modal tersebut benar-benar untuk modal usaha, biasanya kuliner.
Kulinernya pun macam-macam mulai dari tradisional sampai modern. Dari penganan
olahan singkong sampai lumpia. Intinya: jajan pasar lah. Jadi, kalau keluarga
ada hajat, biasanya pesan ke mereka. Selain terjamin, sekaligus sebagai
perantara rizki, dan ada bonusnya, hehe.
Ada juga yang kreatif membuat bros
rajut. Saya pun sebenarnya diminta tolong untuk memasarkan produknya, hehe. Tapi
karena sering tidak sempat mampir ke rumah beliau, jadinya ya belum jadi sampai
sekarang. Maaf njih… Alhamdulillahnya sempat ketemu dengan faskel kelurahan
yang sangat mendukung pengentasan warmis dengan pemberdayaan masyarakat. Saya
catat lah beberapa usulan beliau, semoga kami bisa merealisasikannya.
Saya tidak ingin masyarakat
terbelenggu dalam pusaran ini. MENYAKITKAN. Mereka juga punya hak untuk
tercukupi, dan minimal tidak punya hutang. Rumus modal + hutang saya rasa tidak
tepat untuk kalangan ini. Ini fakta: masyarakat hanyut dalam lingkaran
pinjam-meminjam, entah dengan kebutuhan urgent
atau tidak. Sikap mental masyarakat belumlah sempurna untuk siap memerima uang
pinjaman tersebut. Bukan menghalangi, akan tetapi, pihak-pihak yang terkait
juga semestinya memikirkan solusi alternatif pengentasan kemiskinan yang tidak
menjerat.
Allahu musta’an.
------------
“Sudahlah bu, besok lagi kalau ada
periode bukaan lagi, ndak usah hutang dulu. Coba aja nabung sedikit-sedikit,
daripada hanya untuk nyaur hutang….”


Tidak ada komentar:
Posting Komentar