Pages

Ads 468x60px

Minggu, 10 Maret 2013

Weekend ala Saya


Ada yang kenal weekend? Biasanya, hari itu adalah saatnya refresh, menenangkan diri dan santai, me time, atau pokoknya hari yang diisi dengan hal-hal yang tidak terlalu berat, melepas lelah setelah hari aktif.
Tapi, itu tidak berlaku bagi saya. Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Karena saya benar-benar membutuhkan refresh justru tidak pada weekend, kala penat sudah bertumpuk saja, dan itu waktunya kondisional saja.
Nah, ahad 10 maret lalu, terjadilah mozaik tradisi tidak ada weekend (lagi).
Pukul 6 lebih sedikit saya sudah keluar rumah. Rencananya sampai maghrib akan ada beberapa agenda melintas batas kota. Dengan sarapan dua pisang goreng, melesatlah saya ke kajian tafsir di pondok dahulu. Tadinya pengen makan nasi (saya pantang pergi sebelum sarapan nasi sebenarnya), tapi takutnya ketinggalan kajian karena hanya berlangsung satu jam, dan ontime, hehe. Bismillah.
Hari ini tentang tafsir Surat Al Kaafiruun dan diskusi seputar toleransi-interaksi antara muslim dan non-Muslim. Karena kami berada di lingkungan yang menjadi salah satu basis misionaris, maka hal-hal seperti ini perlu dan wajib dikuatkan. Akan tetapi, ada beberapa hal yang menurut saya, “saklek” dari ustadz tersebut. Menyadarkan masyarakat akan boleh tidaknya begini-begitu terkadang akan menyinggung juga jika kita tidak “pas” berkata dan bersikap. Tapi, memang masyarakat juga harus paham sih, sama seperti saya memahamkan ke Abah dan mas saya ketika diundang ikut syukuran (bahasa orang katoliknya: sembayangan). Dan beliau berdua datang, astaghfirullah, dan satu hal yang saya sesali. Saya tahu ketika beliau pulang dari hajat itu (karena memang saya pulangnya jam 9 malam). Sedang di kajian, sang ustadz bilang: “bahkan ketika mereka mau ada peribadahan, kita tidak boleh membantu walau sekedar masak-masak atau menyiapkan tenda, apalagi menghadiri ibadah mereka.”
Nah, bingung juga. Ibu saya acungi jempol untuk masakannya, jadi tak heran bila banyak tetangga yang punya hajat akan meminta Ibu untuk membantu masak. Sedang bapak, lumayan berjiwa sosial dan suka bantu-bantu tetangga. Kalau sudah dihadapkan seperti ini, mereka (orang non muslim) akan punya hajat, ortu saya dimintai tolong, terus apa yang langsung “saklek” ditolak? Sementara banyakan tetangga saya yang non muslim masih terhitung sodara juga, walaupun mungkin alurnya sudah jauh. Jika ortu saya sedang punya kerjaan yang kudu diselesaikan, tak apa di tolak. Tapi kalo lagi luang? Nah, jika seperti ini, saya kok lebih prefer menggunakan hadist “innamal a’malu binniat”. Mungkin akan berbeda jika nantinya kampung-daerah saya, Islam yang pondasi sudah menjadi wajib. Lha wong pemda baligh saja masih sering dijumpai tidak solat wajib, yang keluarga muda ada yang mabuk dan sabung ayam. (masih banyak PR ternyata…).
******
Oke, sesi selanjutnya adalah perjalanan ke kampus UGM. Hari ini ada kunjungan dari RCDC Bandung ke RCDC Pleret. Jadilah, kami prepare untuk menyambut mereka. Katanya jam 8 akan mulai, lha saya yo ngebut (eh, cuma 80km/jam ding) di jalan, soalnya dari pondok jam7.20. Hey sista, maaf ya, sampai hari ini belum bisa mengamalkan pesanmu: “ora banter-banter”. Masih berpikir, engkau berpapasan denganku dimana sih? hehe.
Karena sudah biasa ke peternakan UGM lewat depan maskam, jadi saya PD lewat situ juga kali ini. Eh, kan ada SunMor. Hadeuh, macet nih, padahal motor dah kadung belok. Ya sudah, berhubung wirid dan hafalan juga belum kelar, sekalian aja antri di kemacetan sambil finishing.
Heran, dulu saat saya masih SMA, SunMor tidak sepadat ini. Saat depan GSP masih dipakai buat jualan juga. Saat ini, masyaAllah ramainya. Entah sekedar jalan-jalan cuci mata, atau yang benar mencari sesuatu, termasuk jajan-makan-dan maaf “ngamen”. Serius. Saya kok ilfill dengan segerombolan mahasiswa (tidak hanya satu, tapi beberapa kelompok) menjajagi satu persatu lapak yang ada dan menyuguhkan suara mereka. Ujungnya, berharap dikasih barang gopek, cepek. Ayolah, masih generasi muda kok sudah begitu. Tengoklah para generasi tua, simbah-eyang yang tekun berjalan menjajakan jualannya, walau sering banyak yang cuek dan tak hiraukan. Justru, itulah yang harus dicontoh, mereka pantang meminta. Di SunMor pula, pernah saya terjebak di kerumunan manusia, tak bisa lewat dan gerak. Sesak, penuh, berjejalan. Padahal, hanya mau nyebrang dari depan maskam ke kampung Kuningan. Hanya beberapa meter saja!
Alhamdulillah, antri di tengah kemacetan akhir sudah ketika saya masuk ke kawasan peternakan. Edisi menunggu pun tiba. Hampir jam sepuluh belum ada tanda-tanda dari tamu. Awalnya yang akhwat menyiapkan snack sambil ngobrol, bagaimana kalo jualan di SunMor juga? hehe. Sepertinya belum ada yang jualan jajan pasar disana, karena banyakan junk food dan fast food. Tapi, problemnya adalah, kami-para akhwat tidak suka keramaian karena mudah pusing. Secara pribadi, saya sangat mudah lelah di tempat ramai, dan tentu pusing juga. Makanya jarang banget saya ikut kegiatan yang bersifat ramai-ramai (misalnya aksi), tapi waktu tertentu pernah ding seperti konsolidasi itu. Setelah itu, masing-masing juga sibuk dengan dirinya, tapi ada yang unik. Aktivitas kita tidak jauh dari mushaf. Entah mengapa, ada magnet tersendiri mungkin ya, kalo akhwat itu senang memanfaatkan waktu menunggu untuk berinteraksi dengan surat cinta-Nya. Saya sendiri sedang melengkapi ayat-ayat di catatan kajian tafsir saya (saya malu, kalah sama anak SMA yang sudah hafal di luar kepala kalo cuma urusan nulis juz ‘amma, hikz3), akhwat satunya tilawah di luar ruangan (kedengeran dari dalam suaranya) dan satu lagi membaca/tadabbur dalam diam.
Sementara yang ikhwan? Mereka berdua asyik dengan dunia mereka masing-masing, berhadapan dengan layar laptop, hehe.
Biidznillah, tamu datang sekitar jam10.30. Alhamdulillah, karena limitnya waktu, tanpa basa basi agenda langsung dimulai. Pembukaan, share RCDC Bandung, dan share RCDC Pleret. Sekitar satu jam, agenda pun usai karena kita akan mengunjungi desa binaan kita sekalian lunch bareng dengan menu spesial: ayam kampung.
Cerita tentang ayam kampung, jadi pengen nulis kisah saya memboyong si ayam. Sabtu pagi, saya janjian dengan yang jual ayam (istrinya dosen pembimbing sih) jam2. Dan jam 2 tepat saya sudah di kandang, sambil liat-liat ayam yang masih kecil-kecil. Inikah yang mau diambil?
SMS ke beliau, saya sudah di kandang. 5 menit, kok belum datang ya? Biasanya beliau ontime. SMS belum dibalas, di telpon tidak diangkat. Mungkin di jalan. Husnudzon
Jam2.21 ada SMS, ternyata ditunggu di rumah (sekitar SD-SMP Nuris). Waduh, butuh 12 menit kesana, berarti pula saya harus lumayan memacu kecepatan agar saya bisa sampai di Pleret jam3an karena selanjutnya ada agenda didaerah Mlati jam4. Salah saya, pagi itu saya tidak konfirm lagi terkait tempat pengambilan ayam, karena malam sabtu saya ditelpon teman diminta ambil di kandang. Hehe, pelajaran, sekecil apapun, lebih baik di crokcek saja. 
Oke, perjalanan saya tempuh lewat ringroad barat-selatan. Entah saya pakai kecepatan berapa karena alhamdulillah dapat lampu bangjo yang hijau terussss. Sampai di pleret pas waktu adzan asar. Sekedar menjelaskan ke bu dukuh (yang mau masak ayam), dan lekas pamit. Harus memacu pegasus saya lagi nih.
Di jalan, sambil clingak-clinguk cari masjid dengan kamar mandi yang oke. Kalau di Pleret saya tidak nyaman karena masjidnya bingung gimana mau ke tempat wudhunya, wong depannya ada kolam isi air gitu. Kan saya musti pake kaos kaki. Kalo di mushola dekat pak Hanafi itu banyak cowoknya, rikeuh. Dan saya tidak kepikiran di mushola dekatnya bu dukuh, hehe. Allah berkenan menyampaikan di Mlati, pukul4.15 pm, hehe.
******
Balik ke agenda selanjutnya, saya berdua (akhwat satunya sudah pergi ke walimah temannya) naik otobai masing-masing ke Pleret. Sempat di tabrak dari belakang karena saya ngerem mendadak. lha depan saya ada mobil yang juga nge-rem mendadak. Kalo saya tidak melakukan hal yang sama, bisa bebabe, entah yang bonyok saya atau si mobil. Eh, yang di belakang saya malah marah-marah, misuh pake bahasa Jawa. Dikira saya tidak tahu apa, wong Jowo asli yo. Astaghfirullah.
Sampai di jalan yang ke arah SMA 8, ternyata ditutup, alhasil harus lewat kusumanegara. Macet euiy. Tapi dasar sudah biasa nyempil-nyempil sih, takhluk juga. Sampai perintis kemerdekaan, barulah teman saya tadi ada di belakang saya, hehe. Maaf ya.
Di Pleret, kita solat dulu di rumah kakaknya teman saya tadi (sudah macam basecamp saja) sambil menunggu rombongan tamu tiba pakai bus. Lumayan lah, melepas penat.
Kepala bagian tengkuk mulai sakit, kok mikirnya tensi naik lagi ya, hehe. Hussh, buang jauh-jauh pikiran itu. Perut pun mulai menunjukkan gejala, kembung. Ini nih kalo saya abai terhadap sarapan nasi. Sudah berkali-kali terjadi, tapi ngeyel juga.
Agenda dilanjut dengan diskusi, makan bareng dan field trip ke kawasan peternakan-pertanian. Panas membakar semangat mereka. Ketemu buah kepel (buah khas Jogja) yang didefinisikan sama temen-temen: semacam sawo, campuran mangga dan semangka (masa’ sih????), duku (halah, ini apa lagi, beda jauhhhh). Buah kepel ini sudah langka, jadi jarang banget kalo mau cari. Tapi di kraton ada kok. Warna kulitnya memang semacam sawo, tapi dalemnya warna kuning. Kalau sudah matang rasanya manis dan lembut (manisnya semacam campuran jus mangga atau semangka memang), ada bijinya juga kayak biji salak. Silakan kalau yang mau hunting buah ini, ada di Pleret lho….
Pukul setengah empat solat asar dan galau. Mau melanjutkan agenda ndak ya? Ngeles. Soalnya saya sudah gak enak bodi banget, pengen banget rebahan. Akhirnya mencoba nego ganti hari les, alhamdulillah bisa. Nengok sebentar teman-teman KOPPI di tempat bu dukuh. Sore ini sekolah jingga sedang ada agenda nonton film bareng anak-anak. Kocak juga ternyata, hehe.
Kali ini, menikmati perjalanan sore menyusur ringroad selatan dan barat-gamping-pathukan-jalan godean-belok ke arah bina ummat dan menyusur sawah baru ke rumah lewat jalan jurang. Punya rumah paling pojok itu enaknya bisa menyapa seluruh warga kalo lewat. Gak enaknya kalo jalan satu-satunya sedang diperbaiki, harus lewat jalan jurang yang tak mulus dan hanya muat satu motor atau lewat RW.3 dengan banyak anjing. Masalahnya, hari ini di RW 3 juga sedang ada acara RAT CUCT, jadinya yo ramai kan jalan itu, hemmpf.
Tiba di rumah, berasa laper lagi (padahal tadi dah makan siang), hehe. Rebahan beberapa menit, baru kemudian menyanggupi ajakan ibu untuk makan. MasyaAllah, ternyata ibu menunggu kepulangan saya. Minta diantar periksa. Maafkan, tadi pagi tak sempat belikan obat yang kau pinta, karena saya juga tak yakin apa penyakit yang diderita. Takut salah obat tanpa diagnosa.
Ba’da maghrib, dengan agak berat (awalnya)  berangkatlah ke Sentolo tempat dokter langganan keluarga. Penat sebenarnya, tapi kemudian kembali diingatkan, kita harus ikhlas. Seberapapun penat kita, belum tergantikan dengan penatnya ibunda ketika merawat kita, ataghfirullah. Benar-benar harus banyak istighfar.
Jalan yang tidak mulus dan kondisi gelap membuat pandangan kabur. Saya agak ngantuk. Sampai diceblek (dipukul dengan ringan) oleh ibu saya, hehe. Maaf. Lewat jalan westprog yang sepi, meliuk-menanjak dan turunan. Senang ketika akan sampai di daerah Sentolo, lebih terang jalannya.
Oke, kata dokter radang sendi tulang iga dan radang lambung. Tuh kan, dibilang juga apa, sejak ibu kena gejala tipus dan radang lambung, sudah diingatkan berkali-kali, pake nada marah juga (saya jago kalo suruh memarahi ibu dalam hal ini, walo beliaunya ngeyel juga). Jangan makan pedas dan sambal dulu. Katanya, “alah, ora bendino e (tidak tiap hari kok).” Jangan capek-capek, tetep aja jarang istirahat dan makannya hanya sedikit. Bahasanya: ngoyo.
Pulang ambil jalan lain yaitu lewat Klangon-Gedongan yang relatif lebih ramai. Dan lebih mulus juga aspalnya. Dah jam8 lebih soalnya.
Terkadang saya pengen nangis, kenapa harus saya yang sudah capek begini masih harus keluar malam? Ada mas saya, tapi ibu biasanya tidak berkenan diantar beliau. Teringat dulu waktu ibuk gejala tipus, sampai saya marah karena beliau tidak mau periksa. Ketika dua tawaran, saya antar naik motor diantar mas pake mobil, beliau pilih saya. Sedang saya sebenarnya harus ke kampus. Saya nangis dalam hati. Kenapa, kenapa harus saya yang dipilih? Sedang ketika saya jujur ada agenda di kampus, biasanya ibuk beranggapan saya tidak sayang dia dan itu melukai hatinya, astaghfirullah. Saya takut, takut akan doa beliau. Karena selama ini, sepanjang umur saya, sudah membuktikan ketika beliau tidak ridha dan sakit hati, kita-anaknya akan didoakan: yang tidak baik. Dan itu terjadi.
Doa orangtua, terlebih ibu melebihi dasyatnya doa seribu ulama. W.O.W
Subhanallah, hari ini banyak hikmah….

Tidak ada komentar: