Ada yang kenal weekend? Biasanya, hari itu adalah saatnya refresh, menenangkan diri dan santai, me time, atau pokoknya hari yang diisi dengan hal-hal yang tidak
terlalu berat, melepas lelah setelah hari aktif.
Tapi, itu tidak berlaku bagi saya.
Setidaknya dalam beberapa tahun terakhir. Karena saya benar-benar membutuhkan refresh justru tidak pada weekend, kala penat sudah bertumpuk
saja, dan itu waktunya kondisional saja.
Nah, ahad 10 maret lalu, terjadilah
mozaik tradisi tidak ada weekend (lagi).
Pukul 6 lebih sedikit saya sudah
keluar rumah. Rencananya sampai maghrib akan ada beberapa agenda melintas batas
kota. Dengan sarapan dua pisang goreng, melesatlah saya ke kajian tafsir di
pondok dahulu. Tadinya pengen makan nasi (saya pantang pergi sebelum sarapan
nasi sebenarnya), tapi takutnya ketinggalan kajian karena hanya berlangsung
satu jam, dan ontime, hehe. Bismillah.
Hari ini tentang tafsir Surat Al
Kaafiruun dan diskusi seputar toleransi-interaksi antara muslim dan non-Muslim.
Karena kami berada di lingkungan yang menjadi salah satu basis misionaris, maka
hal-hal seperti ini perlu dan wajib dikuatkan. Akan tetapi, ada beberapa hal
yang menurut saya, “saklek” dari ustadz tersebut. Menyadarkan masyarakat akan
boleh tidaknya begini-begitu terkadang akan menyinggung juga jika kita tidak
“pas” berkata dan bersikap. Tapi, memang masyarakat juga harus paham sih, sama
seperti saya memahamkan ke Abah dan mas saya ketika diundang ikut syukuran
(bahasa orang katoliknya: sembayangan). Dan beliau berdua datang, astaghfirullah,
dan satu hal yang saya sesali. Saya tahu ketika beliau pulang dari hajat itu
(karena memang saya pulangnya jam 9 malam). Sedang di kajian, sang ustadz
bilang: “bahkan ketika mereka mau ada peribadahan, kita tidak boleh membantu
walau sekedar masak-masak atau menyiapkan tenda, apalagi menghadiri ibadah
mereka.”
Nah, bingung juga. Ibu saya acungi
jempol untuk masakannya, jadi tak heran bila banyak tetangga yang punya hajat
akan meminta Ibu untuk membantu masak. Sedang bapak, lumayan berjiwa sosial dan
suka bantu-bantu tetangga. Kalau sudah dihadapkan seperti ini, mereka (orang
non muslim) akan punya hajat, ortu saya dimintai tolong, terus apa yang
langsung “saklek” ditolak? Sementara banyakan tetangga saya yang non muslim
masih terhitung sodara juga, walaupun mungkin alurnya sudah jauh. Jika ortu
saya sedang punya kerjaan yang kudu diselesaikan, tak apa di tolak. Tapi kalo
lagi luang? Nah, jika seperti ini, saya kok lebih prefer menggunakan hadist “innamal a’malu binniat”. Mungkin akan
berbeda jika nantinya kampung-daerah saya, Islam yang pondasi sudah menjadi
wajib. Lha wong pemda baligh saja masih sering dijumpai tidak solat wajib, yang
keluarga muda ada yang mabuk dan sabung ayam. (masih banyak PR ternyata…).
******
Oke, sesi selanjutnya adalah perjalanan
ke kampus UGM. Hari ini ada kunjungan dari RCDC Bandung ke RCDC Pleret.
Jadilah, kami prepare untuk menyambut
mereka. Katanya jam 8 akan mulai, lha saya yo ngebut (eh, cuma 80km/jam ding)
di jalan, soalnya dari pondok jam7.20. Hey sista, maaf ya, sampai hari ini
belum bisa mengamalkan pesanmu: “ora banter-banter”. Masih berpikir, engkau
berpapasan denganku dimana sih? hehe.
Karena sudah biasa ke peternakan UGM
lewat depan maskam, jadi saya PD lewat situ juga kali ini. Eh, kan ada SunMor.
Hadeuh, macet nih, padahal motor dah kadung belok. Ya sudah, berhubung wirid
dan hafalan juga belum kelar, sekalian aja antri di kemacetan sambil finishing.
Heran, dulu saat saya masih SMA,
SunMor tidak sepadat ini. Saat depan GSP masih dipakai buat jualan juga. Saat
ini, masyaAllah ramainya. Entah sekedar jalan-jalan cuci mata, atau yang benar
mencari sesuatu, termasuk jajan-makan-dan maaf “ngamen”. Serius. Saya kok ilfill dengan segerombolan mahasiswa
(tidak hanya satu, tapi beberapa kelompok) menjajagi satu persatu lapak yang
ada dan menyuguhkan suara mereka. Ujungnya, berharap dikasih barang gopek,
cepek. Ayolah, masih generasi muda kok sudah begitu. Tengoklah para generasi
tua, simbah-eyang yang tekun berjalan menjajakan jualannya, walau sering banyak
yang cuek dan tak hiraukan. Justru, itulah yang harus dicontoh, mereka pantang
meminta. Di SunMor pula, pernah saya terjebak di kerumunan manusia, tak bisa
lewat dan gerak. Sesak, penuh, berjejalan. Padahal, hanya mau nyebrang dari
depan maskam ke kampung Kuningan. Hanya beberapa meter saja!
Alhamdulillah, antri di tengah
kemacetan akhir sudah ketika saya masuk ke kawasan peternakan. Edisi menunggu
pun tiba. Hampir jam sepuluh belum ada tanda-tanda dari tamu. Awalnya yang
akhwat menyiapkan snack sambil
ngobrol, bagaimana kalo jualan di SunMor juga? hehe. Sepertinya belum ada yang
jualan jajan pasar disana, karena banyakan junk
food dan fast food. Tapi,
problemnya adalah, kami-para akhwat tidak suka keramaian karena mudah pusing.
Secara pribadi, saya sangat mudah lelah di tempat ramai, dan tentu pusing juga.
Makanya jarang banget saya ikut kegiatan yang bersifat ramai-ramai (misalnya
aksi), tapi waktu tertentu pernah ding seperti konsolidasi itu. Setelah itu,
masing-masing juga sibuk dengan dirinya, tapi ada yang unik. Aktivitas kita
tidak jauh dari mushaf. Entah mengapa, ada magnet tersendiri mungkin ya, kalo
akhwat itu senang memanfaatkan waktu menunggu untuk berinteraksi dengan surat
cinta-Nya. Saya sendiri sedang melengkapi ayat-ayat di catatan kajian tafsir
saya (saya malu, kalah sama anak SMA yang sudah hafal di luar kepala kalo cuma
urusan nulis juz ‘amma, hikz3), akhwat satunya tilawah di luar ruangan
(kedengeran dari dalam suaranya) dan satu lagi membaca/tadabbur dalam diam.
Sementara yang ikhwan? Mereka berdua
asyik dengan dunia mereka masing-masing, berhadapan dengan layar laptop, hehe.
Biidznillah, tamu datang sekitar
jam10.30. Alhamdulillah, karena limitnya waktu, tanpa basa basi agenda langsung
dimulai. Pembukaan, share RCDC
Bandung, dan share RCDC Pleret.
Sekitar satu jam, agenda pun usai karena kita akan mengunjungi desa binaan kita
sekalian lunch bareng dengan menu
spesial: ayam kampung.
Cerita tentang ayam kampung, jadi
pengen nulis kisah saya memboyong si ayam. Sabtu pagi, saya janjian dengan yang
jual ayam (istrinya dosen pembimbing sih) jam2. Dan jam 2 tepat saya sudah di
kandang, sambil liat-liat ayam yang masih kecil-kecil. Inikah yang mau diambil?
SMS ke beliau, saya sudah di kandang.
5 menit, kok belum datang ya? Biasanya beliau ontime. SMS belum dibalas, di
telpon tidak diangkat. Mungkin di jalan. Husnudzon
Jam2.21 ada SMS, ternyata ditunggu di
rumah (sekitar SD-SMP Nuris). Waduh, butuh 12 menit kesana, berarti pula saya
harus lumayan memacu kecepatan agar saya bisa sampai di Pleret jam3an karena selanjutnya
ada agenda didaerah Mlati jam4. Salah saya, pagi itu saya tidak konfirm lagi
terkait tempat pengambilan ayam, karena malam sabtu saya ditelpon teman diminta
ambil di kandang. Hehe, pelajaran, sekecil apapun, lebih baik di crokcek
saja.
Oke, perjalanan saya tempuh lewat
ringroad barat-selatan. Entah saya pakai kecepatan berapa karena alhamdulillah
dapat lampu bangjo yang hijau terussss. Sampai di pleret pas waktu adzan asar.
Sekedar menjelaskan ke bu dukuh (yang mau masak ayam), dan lekas pamit. Harus
memacu pegasus saya lagi nih.
Di jalan, sambil clingak-clinguk cari
masjid dengan kamar mandi yang oke. Kalau di Pleret saya tidak nyaman karena
masjidnya bingung gimana mau ke tempat wudhunya, wong depannya ada kolam isi
air gitu. Kan saya musti pake kaos kaki. Kalo di mushola dekat pak Hanafi itu
banyak cowoknya, rikeuh. Dan saya tidak kepikiran di mushola dekatnya bu dukuh,
hehe. Allah berkenan menyampaikan di Mlati, pukul4.15 pm, hehe.
******
Balik ke agenda selanjutnya, saya
berdua (akhwat satunya sudah pergi ke walimah temannya) naik otobai masing-masing ke Pleret. Sempat
di tabrak dari belakang karena saya ngerem mendadak. lha depan saya ada mobil
yang juga nge-rem mendadak. Kalo saya tidak melakukan hal yang sama, bisa
bebabe, entah yang bonyok saya atau si mobil. Eh, yang di belakang saya malah
marah-marah, misuh pake bahasa Jawa. Dikira saya tidak tahu apa, wong Jowo asli
yo. Astaghfirullah.
Sampai di jalan yang ke arah SMA 8,
ternyata ditutup, alhasil harus lewat kusumanegara. Macet euiy. Tapi dasar
sudah biasa nyempil-nyempil sih, takhluk juga. Sampai perintis kemerdekaan,
barulah teman saya tadi ada di belakang saya, hehe. Maaf ya.
Di Pleret, kita solat dulu di rumah
kakaknya teman saya tadi (sudah macam basecamp
saja) sambil menunggu rombongan tamu tiba pakai bus. Lumayan lah, melepas penat.
Kepala bagian tengkuk mulai sakit, kok
mikirnya tensi naik lagi ya, hehe. Hussh, buang jauh-jauh pikiran itu. Perut
pun mulai menunjukkan gejala, kembung. Ini nih kalo saya abai terhadap sarapan
nasi. Sudah berkali-kali terjadi, tapi ngeyel juga.
Agenda dilanjut dengan diskusi, makan
bareng dan field trip ke kawasan
peternakan-pertanian. Panas membakar semangat mereka. Ketemu buah kepel (buah
khas Jogja) yang didefinisikan sama temen-temen: semacam sawo, campuran mangga
dan semangka (masa’ sih????), duku (halah, ini apa lagi, beda jauhhhh). Buah
kepel ini sudah langka, jadi jarang banget kalo mau cari. Tapi di kraton ada
kok. Warna kulitnya memang semacam sawo, tapi dalemnya warna kuning. Kalau
sudah matang rasanya manis dan lembut (manisnya semacam campuran jus mangga
atau semangka memang), ada bijinya juga kayak biji salak. Silakan kalau yang
mau hunting buah ini, ada di Pleret
lho….
Pukul setengah empat solat asar dan
galau. Mau melanjutkan agenda ndak ya? Ngeles. Soalnya saya sudah gak enak bodi
banget, pengen banget rebahan. Akhirnya mencoba nego ganti hari les,
alhamdulillah bisa. Nengok sebentar teman-teman KOPPI di tempat bu dukuh. Sore
ini sekolah jingga sedang ada agenda nonton film bareng anak-anak. Kocak juga
ternyata, hehe.
Kali ini, menikmati perjalanan sore
menyusur ringroad selatan dan barat-gamping-pathukan-jalan godean-belok ke arah
bina ummat dan menyusur sawah baru ke rumah lewat jalan jurang. Punya rumah
paling pojok itu enaknya bisa menyapa seluruh warga kalo lewat. Gak enaknya
kalo jalan satu-satunya sedang diperbaiki, harus lewat jalan jurang yang tak
mulus dan hanya muat satu motor atau lewat RW.3 dengan banyak anjing.
Masalahnya, hari ini di RW 3 juga sedang ada acara RAT CUCT, jadinya yo ramai
kan jalan itu, hemmpf.
Tiba di rumah, berasa laper lagi
(padahal tadi dah makan siang), hehe. Rebahan beberapa menit, baru kemudian
menyanggupi ajakan ibu untuk makan. MasyaAllah, ternyata ibu menunggu
kepulangan saya. Minta diantar periksa. Maafkan, tadi pagi tak sempat belikan
obat yang kau pinta, karena saya juga tak yakin apa penyakit yang diderita.
Takut salah obat tanpa diagnosa.
Ba’da maghrib, dengan agak berat
(awalnya) berangkatlah ke Sentolo tempat
dokter langganan keluarga. Penat sebenarnya, tapi kemudian kembali diingatkan,
kita harus ikhlas. Seberapapun penat kita, belum tergantikan dengan penatnya
ibunda ketika merawat kita, ataghfirullah. Benar-benar harus banyak istighfar.
Jalan yang tidak mulus dan kondisi
gelap membuat pandangan kabur. Saya agak ngantuk. Sampai diceblek (dipukul
dengan ringan) oleh ibu saya, hehe. Maaf. Lewat jalan westprog yang sepi, meliuk-menanjak dan turunan. Senang ketika akan
sampai di daerah Sentolo, lebih terang jalannya.
Oke, kata dokter radang sendi tulang
iga dan radang lambung. Tuh kan, dibilang juga apa, sejak ibu kena gejala tipus
dan radang lambung, sudah diingatkan berkali-kali, pake nada marah juga (saya
jago kalo suruh memarahi ibu dalam hal ini, walo beliaunya ngeyel juga). Jangan
makan pedas dan sambal dulu. Katanya, “alah, ora bendino e (tidak tiap hari
kok).” Jangan capek-capek, tetep aja jarang istirahat dan makannya hanya
sedikit. Bahasanya: ngoyo.
Pulang ambil jalan lain yaitu lewat
Klangon-Gedongan yang relatif lebih ramai. Dan lebih mulus juga aspalnya. Dah
jam8 lebih soalnya.
Terkadang saya pengen nangis, kenapa
harus saya yang sudah capek begini masih harus keluar malam? Ada mas saya, tapi
ibu biasanya tidak berkenan diantar beliau. Teringat dulu waktu ibuk gejala
tipus, sampai saya marah karena beliau tidak mau periksa. Ketika dua tawaran,
saya antar naik motor diantar mas pake mobil, beliau pilih saya. Sedang saya
sebenarnya harus ke kampus. Saya nangis dalam hati. Kenapa, kenapa harus saya
yang dipilih? Sedang ketika saya jujur ada agenda di kampus, biasanya ibuk
beranggapan saya tidak sayang dia dan itu melukai hatinya, astaghfirullah. Saya
takut, takut akan doa beliau. Karena selama ini, sepanjang umur saya, sudah
membuktikan ketika beliau tidak ridha dan sakit hati, kita-anaknya akan
didoakan: yang tidak baik. Dan itu terjadi.
Doa orangtua, terlebih ibu melebihi
dasyatnya doa seribu ulama. W.O.W
Subhanallah, hari ini banyak hikmah….


Tidak ada komentar:
Posting Komentar