Masihkah merasakan kehangatan sapa tetangga kita?
Masihkah
ada empati terhadap mereka?
Begitulah,
hakikat bermasyarakat, karena dunia bukan hanya milik sendiri.
Sedikit
menggoreskan pena, tentang membagi waktu antara aktivitas pribadi, termasuk
ngampus, tapi tidak jua lupa dengan sekitar kita terutama tetangga. Ahh, ya.
Saya masih terus belajar membagi waktu, belum perfect, tapi berusaha limit
perfect bolehlah…
Kali
waktu, seharian ada agenda kampus-les, hingga kebiasaan lama kembali. Lupa
makan siang, hehe. Wira-wiri di jalan jadi tak cukup waktu untuk sekedar
nangkring di warung makan. Baru agak sorean keinget, sudah lewat jam makan
siang pake banget, entar sekalian di rumah aja, pikir saya waktu itu. Lagian,
saya pun tak hobi makan di luar, hehe.
Pulang
sampai rumah maghrib sudah lewat 15 menit. Sesegera mungkin bersih diri dan
maghrib, (di rumah sih, kan jamaah masjid dah kelar salam pastinya) Ahh,
bertapa malu diri saya denganmu, wahai ibu. Ibu yang sudah kepala 5 saja masih
semangat, tapi diri yang baru kepala 2 sudah payah.
Belum
selesai berdoa, tiba-tiba ibu sudah di depan kamar. “Nak, bisa minta tolong
ndak?” Bla bla bla, ibu menjelaskan tetangga kita ada yang sakit sekitar 1
pekan. Sudah dibawa ke dokter terdekat belum sembuh. Gimana kalau nyoba dianter
ke dokter langganan keluarga kita. Alamak, alamat di Wates. Melirik jam, sudah
jam 6 lebih, hemmm, perjalanan sekitar setengah jam. Belum antri juga.
“O
ya, ntar pake kartu periksa tempat ibuk aja, bisa to?” usul ibunda. Haduh ibuk,
ya ndak bisa. Kan rekammediknya beda, ibuk sakitnya apa ja, tetangga kita ni
juga apa aja, pasti beda keluhan, beda obat juga lah.
Akhirnya
ibu mengerti dan saya pun oke. Mengantar beliau ke dokter langganan kami di
Wates, malam-malam begini. Mungkin ada yang bilang, “Perempuan malam-malam kok
keluar rumah.” Aha, bagi saya sih sudah biasa, kalau nganter ibuk periksa juga
jam seginian, karena biasanya memang luang waktunya juga malam.
Ada
juga terbersit pikiran, ah, tetangga itu kan beda agama dengan kita. Dia non
muslim. So, what? Lantas, ketika
beliau non muslim terus kita menolak membantu? Pasti tidak ya, kan bukan
masalah akidah-ibadah, ini masalah muamalah dengan mereka. Saya berpendapat,
selagi ada waktu untuk bisa membantu, lakukan saja. Lakukan kebaikan dan
kebaikan, semoga kebaikan itu teriring kebaikan yang lain.
Perjalanan
melewati kelokan, tanjakan, hutan dengan otobai
kesayangan saya, pegasus. Di jalan, baru teringat lagi, oalah, saya lupa makan
lagi, hehe, makanya perut keroncongan.
Tetangga
yang saya antar heran, gelap-gelap begini saya masih hafal jalanan. Hemmm,
alhamdulillah, kalau sekitar Jogja, masih lumayan paham. Eh, ndak juga ding,
suatu saat pernah kesasar juga waktu pulang dari rumah mertua kakak di Godean.
Karena mati lampu, dan saya diminta lewat jalan tengah desa saja biar aman
(jalan ini baru sekali saya lewati, berlawanan arah pula) malah jadinya bingung
arah. Eeee, tak tahunya, saya malah belok ke arah rumah mertua kakak saya lagi,
hehe. Geje banget.
Lanjut,
setelah setengah jam perjalanan sampailah kami di tempat tujuan. Emmm, kok
sepi, eh, gerbangnya kok tutup? Pertanda kabar tidak baik, hehe. Di depan
tempat dokter praktek itu ada angkringan dengan beberapa bapak-bapak. Sedikit
basa basi untuk “ndherek langkung” dan bertanya praktik dokternya tutup ya.
Dengan
keramahan dan sedikit gojek, salah satu bapak menjelaskan ternyata dokternya sedang
dirawat di rumah sakit karena kecelakaan. Sudah sepekan, jadi sekarang (malam
itu maksudnya) masih opname.
Kecewa?
Sedikit, hehe. Saya lihat pula dari raut wajah tetangga saya (saya memanggilnya
Bulik karena lebih muda daripada ibu saya), kecewa plus ada rasa tidak enak.
Berulang kali beliau meminta maaf, sudah merepotkan. Ahh, orang jawa itu begitu ya. Sudah dibilang tidak apa
berkali-kali, masih juga banyak minta maaf, hehe.
Oke,
akhirnya kita pulang lewat jalan yang berbeda. Jalan wates-klangon, gedongan
dan sampai jalan desa tercinta. Di jalan lebih banyak diam (ini kebiasaan saya
tidak mengobrol kecuali untuk mengusir kantuk). Saya konsen ke jalan, karena
badan sudah agak gemetar, hohoho. Bayangkan, wira-wiri di jalan sampai lupa
makan. Kepala pun mulai senut-senut, pertanda kurang minum. Memang harusnya
muslim itu menjaga 10 kriteria ideal itu kok.
Masuk
di jalan desa, tetangga saya iseng tanya: “ini sudah sampai Kaliduren ya, mbak?”
Weh, ternyata sang ibu ini bingung. “Lha, njenengan bingung napa, Lek? (Anda
bingung ya, Lik?) ini tu sudah masuk desa kita, Lik. Nah, di depan tu bu, ada
rumah Mbah Udi.” Saya menjelaskan sambil nunjuk rumah depan. “Oh, iya mbak, ini
sekarang sudah belok ke barat. sudah ndak bingung lagi.” Hihihi, ada aja ya,
diajak muter dikit saja sudah bingung. Sama aja ding dengan ibuk saya.
Sampai
di rumah, gorengan hangat sudah menanti. Meski dari brother, saya anggap itu
adalah rizki yang tidak disangka-sangka. Soalnya pas waktu pulang maghrib tadi
juga pengen beli gorengan cuma terlanjur bablas sampai rumah.
Inilah,
terkadang memang kita harus siap ketika tetangga kita membutuhkan uluran kita.
Meski kita sedang sibuk, berbagilah porsi dengan mereka, ada hak mereka juga
untuk kita tunaikan.
Kali
kedua, adalah pagi ini.
Saya
nganter ponakan saya ke sekolah, SD saya dulu sih. Jadi berasa emak-emak, hehe.
Pulangnya sebenere mau melanjutkan baca artikel online, tadi saya tinggalkan laptop
dalam keadaan masih hidup. Mikirnya kan cuma bentar, maksimal 15 menit pergi
pulang (hehe, biasa kecepatan segitulah).
Ketika
masuk jalan desa, dicegat sama tetangga saya. Ditodong minta anter ke pasar.
Okelah, karena agak luang jadi tak iyakan saja. Pikirnya, cuma nganter, sampai
di pasar saya terus pulang. Ehehe, ternyata tidak, beliau minta saya tunggu
bentar. Ohhh, belum lagi beliau juga minta anter ke warung beli sayur karena
tadi di pasar tidak nemu sayur yang diinginkan.
Gimana
rasanya? Biasa aja deh, maklum, mungkin ini saatnya saya berbagi waktu dengan
mereka. Sesampai di depan rumah beliau, saya papasan dengan tetangga lainnya yang
mau nganter sekolah. Dia bilang,” Jadi ojek to, Nak?” Haha, aneh banget
pertanyaan retorisnya. Saya mah biasa jadi ojek. Buat orangtua saya, tetangga
pun boleh menikmatinya. Dan free
pastinya, inshaAllah.
Sebelum
tancap gas, si ibu memberikan sekresek jajan pasar, alhamdulillah, rizki juga.
Saya
tidak mengharap balasan apapun, meski terkadang ya begitu. Ketika saya
mengantar, ada yang mau kasih uang untuk ganti bensin. Saya tolak. Tapi kalau
makanan itu beda, hehe. Saya hanya menjaga hati saja, untuk beliau dan untuk
saya. Semoga bisa mempererat ketetanggaan kita ya bu…
Have nice my neighbour...


Tidak ada komentar:
Posting Komentar