Pages

Ads 468x60px

Rabu, 24 April 2013

Berbagi Waktu dengan Tetangga


Masihkah  merasakan kehangatan sapa tetangga kita?
Masihkah ada empati terhadap mereka?
Begitulah, hakikat bermasyarakat, karena dunia bukan hanya milik sendiri.

Sedikit menggoreskan pena, tentang membagi waktu antara aktivitas pribadi, termasuk ngampus, tapi tidak jua lupa dengan sekitar kita terutama tetangga. Ahh, ya. Saya masih terus belajar membagi waktu, belum perfect, tapi berusaha limit perfect bolehlah…
Kali waktu, seharian ada agenda kampus-les, hingga kebiasaan lama kembali. Lupa makan siang, hehe. Wira-wiri di jalan jadi tak cukup waktu untuk sekedar nangkring di warung makan. Baru agak sorean keinget, sudah lewat jam makan siang pake banget, entar sekalian di rumah aja, pikir saya waktu itu. Lagian, saya pun tak hobi makan di luar, hehe.
Pulang sampai rumah maghrib sudah lewat 15 menit. Sesegera mungkin bersih diri dan maghrib, (di rumah sih, kan jamaah masjid dah kelar salam pastinya) Ahh, bertapa malu diri saya denganmu, wahai ibu. Ibu yang sudah kepala 5 saja masih semangat, tapi diri yang baru kepala 2 sudah payah.
Belum selesai berdoa, tiba-tiba ibu sudah di depan kamar. “Nak, bisa minta tolong ndak?” Bla bla bla, ibu menjelaskan tetangga kita ada yang sakit sekitar 1 pekan. Sudah dibawa ke dokter terdekat belum sembuh. Gimana kalau nyoba dianter ke dokter langganan keluarga kita. Alamak, alamat di Wates. Melirik jam, sudah jam 6 lebih, hemmm, perjalanan sekitar setengah jam. Belum antri juga.
“O ya, ntar pake kartu periksa tempat ibuk aja, bisa to?” usul ibunda. Haduh ibuk, ya ndak bisa. Kan rekammediknya beda, ibuk sakitnya apa ja, tetangga kita ni juga apa aja, pasti beda keluhan, beda obat juga lah.
Akhirnya ibu mengerti dan saya pun oke. Mengantar beliau ke dokter langganan kami di Wates, malam-malam begini. Mungkin ada yang bilang, “Perempuan malam-malam kok keluar rumah.” Aha, bagi saya sih sudah biasa, kalau nganter ibuk periksa juga jam seginian, karena biasanya memang luang waktunya juga malam.
Ada juga terbersit pikiran, ah, tetangga itu kan beda agama dengan kita. Dia non muslim. So, what? Lantas, ketika beliau non muslim terus kita menolak membantu? Pasti tidak ya, kan bukan masalah akidah-ibadah, ini masalah muamalah dengan mereka. Saya berpendapat, selagi ada waktu untuk bisa membantu, lakukan saja. Lakukan kebaikan dan kebaikan, semoga kebaikan itu teriring kebaikan yang lain.
Perjalanan melewati kelokan, tanjakan, hutan dengan otobai kesayangan saya, pegasus. Di jalan, baru teringat lagi, oalah, saya lupa makan lagi, hehe, makanya perut keroncongan.
Tetangga yang saya antar heran, gelap-gelap begini saya masih hafal jalanan. Hemmm, alhamdulillah, kalau sekitar Jogja, masih lumayan paham. Eh, ndak juga ding, suatu saat pernah kesasar juga waktu pulang dari rumah mertua kakak di Godean. Karena mati lampu, dan saya diminta lewat jalan tengah desa saja biar aman (jalan ini baru sekali saya lewati, berlawanan arah pula) malah jadinya bingung arah. Eeee, tak tahunya, saya malah belok ke arah rumah mertua kakak saya lagi, hehe. Geje banget.
Lanjut, setelah setengah jam perjalanan sampailah kami di tempat tujuan. Emmm, kok sepi, eh, gerbangnya kok tutup? Pertanda kabar tidak baik, hehe. Di depan tempat dokter praktek itu ada angkringan dengan beberapa bapak-bapak. Sedikit basa basi untuk “ndherek langkung” dan bertanya praktik dokternya tutup ya.
Dengan keramahan dan sedikit gojek, salah satu bapak menjelaskan ternyata dokternya sedang dirawat di rumah sakit karena kecelakaan. Sudah sepekan, jadi sekarang (malam itu maksudnya) masih opname.
Kecewa? Sedikit, hehe. Saya lihat pula dari raut wajah tetangga saya (saya memanggilnya Bulik karena lebih muda daripada ibu saya), kecewa plus ada rasa tidak enak. Berulang kali beliau meminta maaf, sudah merepotkan. Ahh, orang  jawa itu begitu ya. Sudah dibilang tidak apa berkali-kali, masih juga banyak minta maaf, hehe.
Oke, akhirnya kita pulang lewat jalan yang berbeda. Jalan wates-klangon, gedongan dan sampai jalan desa tercinta. Di jalan lebih banyak diam (ini kebiasaan saya tidak mengobrol kecuali untuk mengusir kantuk). Saya konsen ke jalan, karena badan sudah agak gemetar, hohoho. Bayangkan, wira-wiri di jalan sampai lupa makan. Kepala pun mulai senut-senut, pertanda kurang minum. Memang harusnya muslim itu menjaga 10 kriteria ideal itu kok.
Masuk di jalan desa, tetangga saya iseng tanya: “ini sudah sampai Kaliduren ya, mbak?” Weh, ternyata sang ibu ini bingung. “Lha, njenengan bingung napa, Lek? (Anda bingung ya, Lik?) ini tu sudah masuk desa kita, Lik. Nah, di depan tu bu, ada rumah Mbah Udi.” Saya menjelaskan sambil  nunjuk rumah depan. “Oh, iya mbak, ini sekarang sudah belok ke barat. sudah ndak bingung lagi.” Hihihi, ada aja ya, diajak muter dikit saja sudah bingung. Sama aja ding dengan ibuk saya.
Sampai di rumah, gorengan hangat sudah menanti. Meski dari brother, saya anggap itu adalah rizki yang tidak disangka-sangka. Soalnya pas waktu pulang maghrib tadi juga pengen beli gorengan cuma terlanjur bablas sampai rumah.
Inilah, terkadang memang kita harus siap ketika tetangga kita membutuhkan uluran kita. Meski kita sedang sibuk, berbagilah porsi dengan mereka, ada hak mereka juga untuk kita tunaikan.
Kali kedua, adalah pagi ini.
Saya nganter ponakan saya ke sekolah, SD saya dulu sih. Jadi berasa emak-emak, hehe. Pulangnya sebenere mau melanjutkan baca artikel online, tadi saya tinggalkan laptop dalam keadaan masih hidup. Mikirnya kan cuma bentar, maksimal 15 menit pergi pulang (hehe, biasa kecepatan segitulah).
Ketika masuk jalan desa, dicegat sama tetangga saya. Ditodong minta anter ke pasar. Okelah, karena agak luang jadi tak iyakan saja. Pikirnya, cuma nganter, sampai di pasar saya terus pulang. Ehehe, ternyata tidak, beliau minta saya tunggu bentar. Ohhh, belum lagi beliau juga minta anter ke warung beli sayur karena tadi di pasar tidak nemu sayur yang diinginkan.
Gimana rasanya? Biasa aja deh, maklum, mungkin ini saatnya saya berbagi waktu dengan mereka. Sesampai di depan rumah beliau, saya papasan dengan tetangga lainnya yang mau nganter sekolah. Dia bilang,” Jadi ojek to, Nak?” Haha, aneh banget pertanyaan retorisnya. Saya mah biasa jadi ojek. Buat orangtua saya, tetangga pun boleh menikmatinya. Dan free pastinya, inshaAllah.
Sebelum tancap gas, si ibu memberikan sekresek jajan pasar, alhamdulillah, rizki juga.
Saya tidak mengharap balasan apapun, meski terkadang ya begitu. Ketika saya mengantar, ada yang mau kasih uang untuk ganti bensin. Saya tolak. Tapi kalau makanan itu beda, hehe. Saya hanya menjaga hati saja, untuk beliau dan untuk saya. Semoga bisa mempererat ketetanggaan kita ya bu…
Have nice my neighbour...

Tidak ada komentar: