Pages

Ads 468x60px

Kamis, 25 April 2013

Sebuah Anomali

Ketika yang lain, para suami biasa dilayani istri. Dibuatkan kopi atau secangkir teh hangat. Sang suami dipijit istri setelah seharian lelah bekerja.
Tapi yang satu ini beda. Sang suami justru melayani sang istri. Pagi-pagi, ia memilih untuk sholat subuh di rumah sedang sang istri tak pernah ketinggalan sholat jamaah di masjid. Setelahnya, sang suami menjerang air untuk membuat teh. Ya, teh untuk dirinya dan tentu saja untuk istri tercintanya. Pulang dari masjid, istri khusyuk dalam tausyiah di depan layar kaca, sedang sang suami sibuk menanak nasi untuk sarapan pagi. Sekitar jam 6 barulah istri beranjak untuk membuat sayur ataupun lauk sebagai teman nasi di pagi hari. Maklum, sang suami ini tak pandai memasak sayur, jadi ia menunggu saja istri memasakkan untuknya. Jika tak ada, ya, berlapar-lapar adalah pilihan tiada dua. Terkadang, ketika sang suami pulang dari bekerja, istri meminta pijit darinya. Tanpa keluh, ia melakukannya.

Ketika yang lain, para istri biasa menjadi ibu rumah tangga. Ia adalah ibu rumah tangga memang. Tapi di sisi lain, ternyata ia juga seorang pekerja. Sang suami adalah seorang petani penggarap. Ia sudah lumayan berumur, tetapi Allah masih menjadikan para pemilik sawah menaruh percaya padanya. Tak ayal, luas sawah garapan tak sepadan dengan tenaga dan waktunya. Jadi, sang istri turut serta ke medan juang: sawah. Pagi sekali ia telah persiapkan cangkul andalannya. Sebelumnya, ia sama sekali tak pernah mencangkul, apalagi di sawah. Berlepotan lumpur, tak cekatan, dan tentu panas menyengat. Kadang memang keluar keluh, tapi tetap saja dilakoni.

Ketika yang lain, suami istri memiliki anak dan tumbuh menjadi dewasa. Sang ibu biasanya dekat dengan anak-anaknya. Begitu manis dan indah sepertinya jika melihat anak dan orang tua kumpul, bercanda dan makan bersama. Tapi ada di sana, sang ibu sama sekali tak dekat dengan anaknya. Entah kenapa. Mereka, jarang sekali makan bersama, apalagi bercanda. Sang anak, baru sekali mendengar sang bapak tertawa. Sang anak lebih sering mendengar ibunya menangis, tanpa ia berani bertanya: ibu kenapa menangis? Sedemikiankah adanya?

#tapi ini nyata kawan...
Fabi ayyi alaa irabbikumatukadzdzibaan....

Tidak ada komentar: