Hummpf. Penat. Pagi tadi aku terburu ke kampus. Gerimis tak surutkan asa
walau sempat kesal juga. Jalan macet dan aku agak terlambat dari waktu
perkiraan sampai di kampus. Aku mengambil full
SKS kali ini. Alhasil jadwal kuliahku padat. Praktikum, asistensi, konsultasi skripsi
dan belum lagi kegiatan organisasi kampus yang seabrek. Maklum, hampir akhir
periode hingga semua proker dimaksimalkan untuk dilaksanakan.
Senja ini ku sempatkan sejenak nonton TV 14 inch bersama Mamak. Tayangan
bagus pikirku. Gambaran sentuhan sosial dari orang-orang dermawan yang bahkan
pemerintah pun sepertinya belum melakukan hal seperti itu. Ya, potret
kemiskinan negeri ini masih terlihat di sudut kota dan desa.
Tayangan itu, seakan mengingatkanku kepada sesuatu. Dan lorong waktu pun
berputar menuju satu episode di masa lalu.
“Nduk, ini
dimakan dulu..,” begitu kata Mamak. Hemm.
Ku lihat menu sarapanku pagi ini. Sama seperti hari kemarin. Nasi dan garam.
Tak apalah. Yang penting perutku tak kosong. Bagiku, hal itu biasa. Aku pun tak
pernah meminta makanan mewah. Kali waktu Mamak memasak jambu benik (jambu
kecil-kecil seukuran kancing baju) karena memang tidak ada bahan sayur untuk
kami makan. Atau terkadang pula tumis jambal
(kulit singkong) yang sebenarnya dapat menyebabkan keracunan. Tak jarang
pula makan nasi aking dicampur kelapa parut untuk sekedar mengganjal perut.
Masa Unas kulewati. Hemm, entahlah. Aku khawatir aku tak memberikan kado
istimewa bagiku, bagi keluargaku. Dag dig
dug. Pengumuman kelulusan pagi itu merupakan secercah harapan bagiku. Aku
peringkat 1 pararel. Hanya selisih 0,5 dengan temanku yang peringkat 2.
Alhamdulillah. Aku bisa menikmati semangkuk bakso yang kuidam-idamkan selama 3
tahun. Itu hadiah yang dijanjikan oleh Mamak jika aku berada di peringkat 1.
Sluuurp…sedaaaaap…
Aku pun menerima sisa uang beasiswa Rp 24,000. Waktu itu, nominal segitu
sangatlah banyak. Apalagi bagi ukuran seusiaku. Jika kutambah dengan uang saku
waktu Idul Fitri kemarin, aku berencana membeli tas baru. Maklum, selama 6 tahun
aku tak pernah berganti tas. Meski robek sana-sini, Mamak terampil menjahitnya
dengan rapi. Aha, tas model baru, bujuk batinku menghibur diri.
Aku Ida, gadis cilik dari desa yang notabene dari keluarga tak berpunya.
Bapak hanya buruh tani di sawah tetangga. Jika sedang kemarau, profesi Bapak
beralih jadi buruh bangunan atau kerja serabutan. Ya, Bapakku sering mutasi
sana-sini, menjemput rizki yang bertebaran. Bapak harus menghidupi 1 istri
dengan 6 orang anak sekaligus nenekku yang telah renta. He is a perfect person, actually. Tapi, Bapakku perokok berat dan
suka main remi. Terkadang juga wanita. Ku akui, aku marah dengan hal itu. Tapi,
aku tak bisa setulusnya menyalahkan Bapak. Bagaimana tidak? Setelah
kelahiranku, praktis Mamak tak mau disentuh sekalipun oleh Bapak. Mereka pisah
ranjang tapi satu atap. Katanya untuk menghindari kebobolan lagi. Jangankan
membeli pil KB, untuk makan saja masih kekurangan.
Mamak, Ibunda tercinta yang terkenal galak. Namun, Mamak bagiku adalah
sosok yang paling perhatian terhadap pendidikan anaknya. Walaupun 5 anaknya tak
bisa sekolah, Mamak memaksaku untuk sekolah. Tapi, aku tak mengenal uang jajan
layaknya teman-teman. Cukup jarang
(air putih yang dimasak) bekalku untuk melawan lapar. Aku tak punya mainan
monopoli ataupun boneka barbie. Cukup delikan
(petak umpet) dan pasaran dengan dedaunan.
Tiga tahun pertama di sekolah dasar aku tak memahami apa maksud Mamak
menyekolahkanku. Aku tak peduli seberapapun nilaiku. Hingga saat aku naik kelas
4 Mamak marah besar. Raportku banyak angka merah.
“Nduk, Mamak
malu. Masak kamu tak sekolahin kok malah nilenya jelek semua. Kalo kamu begini
terus bisa-bisa kamu ndak naik kelas,” gerutu Mamak.
“Alah, Mak. Kan
ndak pa-pa to. Temen-temen juga banyak yang merah. Gurunya sih, Mak. Ndak bisa
ngajar,kasih soal susah-susah,” ujarku beragam alasan.
“E…Kok malah
nyalahin gurunya. Yo, kamu tu yang males belajar,” timpal Mamak
bersungut-sungut.
“Lha gimana mau
belajar, Mak. Buku aja ndak punya,” aku pasrah.
“Kahanan1, Nduk,” sahut Mamak
sambil tak terasa air matanya menetes.
Duh. Aku membuat Mamak menangis. Tak pernah sebelumnya Mamak meneteskan
air mata sekalipun beban yang ditanggungnya berat. Tapi, kali ini aku membuatnya
menangis. Tuhan. Apa yang telah ku perbuat? Sekecil ini aku telah melelehkan
air mata ibunda yang telah memberikan nafas kehidupan.
Tidak, Mamak. Cukup kali ini aku membuatmu kecewa. Aku akan belajar
sungguh-sungguh. Tak peduli bagaimanapun caranya. Walau aku tak punya buku,
sering nunggak (telat membayar) SPP
dan juga sering terlambat kerena aku hanya jalan kaki ke sekolah. Aku akan berusaha.
Doakan aku, Mamak.
“Aku tak bisa
memberimu apa-apa, Nduk. Aku hanya bisa nyangoni
kepinteran2. Itu saja.
Semoga itu cukup memberikan arti bagimu dan bagi keluarga kita,” doa Mamak
padaku.
Ibu doakanlah ku akan melangkah, menyusuri waktu menjemput citaku
Ibu lepaskanlah ku ke laut biru, agar ku arungi agar ku
sebrangi
Ibu doakanlah ku segra melangkah, menjalani hari menjemput
harapku
Ibu lepaskanlah ku dengan maafmu, tentramkan hatiku menempuh
hidupku
Doamu oh ibu selalu ku nanti,
tulus dan suci dari relung hati, mohonkanlah Allah Rabbi besertaku slalu
(Seismic, Ibu
Doakanlah)
Episode perubahan pun bertahap. Kelas 4 aku mulai berniat untuk
berprestasi. Ukiran pertama, aku berhasil menduduki peringkat tujuh. Tak apa,
peningkatan yang luar biasa walaupun aku tak mendapatkan hadiah apapun. Hal itu
membuat Pak Budi wali kelas 4 melirik padaku. Ya, beliau melihat potensiku.
Tawaran beasiswa sampai lulus kusambut dengan mantap. Itung-itung menyelamatkan
SPP yang sering nunggak karena memang
belum ada uang. Walaupun SPP hanya Rp5,000 per bulan (muahal itu), akan tetapi
bagiku sangat berat. Tak seperti saat ini dimana-mana ada SD gratis (katanya).
Tangga pun menanjak. Aku memang tak punya buku, tapi aku bisa
meminjamnya. Entah dari kakak tingkat atau perpustakaan kalau ada. Aku sering
bertahan untuk pulang terakhir sekedar mencatat soal pekerjaan rumah karena
buku yang ku pinjam berbeda dengan buku yang digunakan. Entah mengapa. Setiap
tahun buku yang digunakan oleh guru selalu ganti. Tidak efisien dan boros saja
menurutku. Tapi tak apalah. Perjuangan memang butuh pengorbanan.
-----------***-----------
Eh, tapi aku bimbang. Melihat nilaiku, aku pengen sekali masuk sekolah
menengah favorit di kota. Tapi, apakah nanti Mamak Bapak sanggup membiayainya.
Apakah aku sanggup dengan kehidupan kota? Apakah aku …. berderet pertanyaan
kebimbangan yang memberiku keputusan untuk tidak muluk-muluk. Ah, sudahlah. Aku
memilih sekolah menengah terdekat saja, 15 km dari rumah. Walaupun di desa, sepertinya
juga tak terlalu jelek. Semoga, ia adalah lahan ilmu terbaik untukku.
Bismillah.
Hari-hari berlalu di sekolah menengah pertama. Tak ada sepeda, apalagi
motor. Aku pergi sekolah naik angkot. Wah, kalau lagi masuk jam ke-0, aku dari
rumah jam 5. Jalan kaki keluar kampung sekitar 15 menit di pagi buta, menunggu
angkot berselimut dinginnya pagi dan aku akan bersama mbah-mbah yang akan ke
pasar. Terkadang jengah juga, mohon maaf ya, aku bergumul dengan ludah dubang (hasil kunyahan kinang) di lantai
angkot, keringat mbah-mbah yang ku yakin belum mandi pagi ini dan beragam hasil
bumi yang dibawa.
Haduh, sungguh. Rasanya ingin segera melesat sampai ke sekolah. Tapi apa.
Angkot juga mencari rizki. Tak bisa aku menekankan egoku, mereka juga butuh
menunggu penumpang. Humpf. Kalau sudah begitu, sering juga aku harus berlari
agar tak terlambat masuk sekolah. Itung-itung olahraga pagi. Padahal, keringat
bercucuran membuatku tak bisa konsentrasi. Alhasil, aku sering menikmati jam-0
di perpus, berputar dengan jawaban yang tak kunjung ketemu dan ngisis (mendinginkan badan).
Setiap hari aku harus mengeluarkan minimal Rp1,000 untuk pergi pulang
naik angkot. Biaya SPP melambung dan juga ekstra komputer yang wajib diikuti. Aku
tak sanggup menatap. Aku seakan menyesal telah masuk SMP. Aku hanya menambah
sulit perekonomian keluarga. Maafkan aku Mamak, Bapak. Malunya diriku ketika ku
dipanggil untuk menemui kepala Tata Usaha. Ku jelaskan dengan kebimbangan, jika
nanti orang tuaku telah panen, pasti akan ku bayar.
Peristiwa itu membuatku stress.
Saat upacara hari Senin, akhirnya aku kepayahan. Pingsan dengan badan demam.
Aku langsung dibawa ke UKS. Dan, Tuhan mulai menunjukkan jalan bagiku. Kebetulan
ruang UKS bersebelahan dengan ruang Bimbingan Konseling. Aku pun menjadi konselee guru BK.
“Sudah baikan,
Nak?” sapa lembut guru itu.
“Alhamdulillah,
sudah, Bu,” ku jawab dengan malu-malu.
“Syukurlah kalau
begitu. Oh ya, namanya siapa, Nak?” tanya beliau.
“Saya Ida, Bu.
Kalau Ibu, mohon maaf, dengan Ibu siapa ya? Saya belum kenal dengan semua guru
di sekolah ini,” tanyaku.
“Ah, ya. Panggil
saja dengan Ibu Erna. Saya guru Bimbingan Konseling di sini. Jadi tidak masuk
kelas seperti guru mata pelajaran, Nak Ida,” jawab Bu Erna.
“O begitu.”
“Bagaimana tadi
Nak Ida bisa pingsan? Belum sarapan ya?” selidik Bu Erna.
“Hee, iya, Bu.
Saya ndak sempet. Atau lebih tepatnya memang tak ada yang bisa saya makan
sebagai sarapan kecuali air putih saja,” jawabku jujur.
Mulailah Bu Erna mengorek tentang keluargaku. Tak sungkan juga, beliau
mengajakku sarapan soto di kantin sekolah. Beliaupun akhirnya berjanji akan
mengusahakanku mendapatkan beasiswa. Tentu dengan catatan aku harus berprestasi
secara akademik. Subhanallah. Nikmat yang tiada tara. Baik sekali guru ini. Aku
takkan melupakan kebaikan engkau, wahai pahlawan tanpa tanda jasa.
Aku rela pulang sore karena aku terpilih menjadi anggota pleton inti di
SMPku. Belum lagi ekstra basket menjadi permainan sekaligus olahraga andalanku.
Malam hari pun aku rela lembur mengerjakan PR dan belajar karena esoknya ada
jam ke-0. Semangat juang meluruhkan rasa lelah yang kurasakan.
Suatu saat aku diminta mewakili sekolah dalam olimpiade biologi. Akan
tetapi, aku tak menghasilkan apa-apa selain kekecewaan. Ya, aku kecewa. Aku
mencoba bangkit dengan mengikuti lomba karya tulis tingkat kabupaten.
Lagi-lagi, aku tak membawa tropi kejuaraan karena aku hanya sampai tingkat 10
besar. Humpf. Tuhan, beri aku kesabaran dan keikhlasan untuk menjalani semua.
Aku belum bisa menepati janjiku memberikan prestasi sebagai ganti beasiswaku.
Tiga tahun berjalan. Tak terasa aku kembali mengalami masa-masa
kebimbangan. Aku khawatir. Dag dig dug.
Entah, pengumuman kelulusan SMP
merupakan secercah harapan atau kesuraman bagiku. Bismillah. Kumantapkan
hati untuk melihat deretan nama-nama siswa yang tertempel di papan pengumuman.
Deretan 10 besar tak ada nama Ida Subekti disana. Akhirnya, ketemu juga nama
cantik pemberian orang tuaku itu. Walau tidak di peringkat teratas, aku masih
bisa bertahan di 20 besar dari 240 siswa
yang lulus. Sungguh, nikmat dan hadiah yang tak ku duga. Terima kasih,
Tuhan. Tak ada sesal. Sesuatu akan indah pada saatnya.
“Mak, aku pengen sekolah di kota,”
pintaku membuka pembicaraan.
“Walah, sekolah di kota mahal,
Nduk.”
“Lha tapi kan
nileku bagus, Mak. Aku pengen ke sekolah favorit. Itu lho kayak Mbak Hana yang
sekolah di SMA 1,” aku merengek.
“Mbak Hana anak
Pak Lurah itu kan kaya. Lha, kamu? Cuma anak buruh, ntar bayar SPP gimana? Wong
buat makan aja kita masih dibantu Paklekmu,” cecar Mamak.
“Nileku bagus,
Mak. Aku yakin aku bisa masuk sana.”
“Jer basuki mawa bea3, Nduk.
Sekolah ndak cuma modal nile bagus.”
“Hemm…Iya ya,”
aku patah semangat.
“Ntar Mamak coba
bicara dengan Bapak,” ujar Mamak dan kemudian menghampiriku dan memelukku.
“Duh Gusti, kulo nyuwun pangapunten4.
Maafkan Mamak, Nduk. Mamak belum bisa penuhi kebutuhan ilmu untukmu.”
Tuhan. Ini kali kedua aku menjadi saksi Mamak menangis. Kenapa harus aku
yang menyebabkan Mamak menangis. Kenapa tidak Yu Murni, atau Kang Maman atau
yang lainnya. Kenapa aku? Aku tak kuasa menyaksikan ini, Tuhan.
-----------***-----------
“Da, yuk ke
kantin..,” ajak temen kelasku.
“Oh, ndak ah.
Aku hari ini jaga UKS, jadi aku mau kesana aja. Maaf ya..,” jawabku nyengir.
“Cie,cie….anak
emas Bu Sofia mau beraksi ni..”
“Eh, maksud
kalian apa sih? Emang bener kok hari ini aku jaga UKS. Tu udah ditunggu sama
Eka,” aku menunjuk Eka yang sudah berada di depan pintu kelas.
“Okelah. Selamat
bekerja. Kita ke kantin dulu ya.”
Sering pula aku menolak ajakan mereka dengan alasan mau ke perpus, atau
sedang ada jadwal piket masjid sekolah. Selain memang ada benarnya, alasan tak
ada uang adalah pokok penyebabnya. Aku sangat meminimalisir uang yang ku
keluarkan. Kalau untuk transport, iuran kelas, okelah aku bayar. Tapi kalau untuk
sekedar jajan, bahkan beli buku sekalipun, aku pasti berpikir berulang kali.
Aku bukan tak butuh jajan atau buku. Tapi aku sedang dibelajarkan tentang
prioritas. Permasalahanku masih berkutat pada materi. Andai masih di zaman
barter, mungkin bisa lebih tertolong. Tapi khayalan lebih menyakitkan karena
kenyataannya tak seperti yang diharapkan.
“Nak, bisa
bicara sebentar?” sapa Bu Sofia padaku.
“Oh, iya Bu.
Bisa-bisa Bu.”
“Ndak apa ya
Nak, Ibu langsung menanyakan sesuatu.”
“Iya. Bu. Tidak
apa-apa. Ada apa Bu?”
“Begini, kemarin
Ibu lihat di daftar peserta kunjung museum. Nama Nak Ida belum ada di sana.”
“Mmm. Memang saya
belum membayar, Bu. Jadi pastinya nama saya belum tertulis di sana.”
“O gitu. Kan ini
program wajib bagi siswa ya. Nanti setelah dari sana kalian juga diminta
membuat laporan. Jadi, misal ikut, kira-kira bisa membayar berapa ya?”
“Mmmm. Maaf ya,
Bu. Bukannya saya tidak mau ikut atau gimana. Tapi memang saya benar-benar
tidak ada biaya untuk membayar 125ribu itu. Bagaimana kalau saya tidak ikut
saja, Bu? Saya mungkin bisa mengganti dengan kegiatan apa gitu.”
Begitulah awal mula aku kenal dekat dengan Ibu Sofia. Beliau adalah
pahlawan tanpa tanda ke tiga yang menjadi perantara tangan Tuhan, selain
mereka-mereka yang telah mengajarkan ilmu kepadaku. Beliau tak sungkan
membayari uang SPPku selama dua bulan. Setelah itu, beliau menguruskan semua
administrasi agar aku mendapatkan beasiswa tiga tahun. Lain waktu, akhirnya aku
dibebaskan dari biaya kunjung museum dan study
tour ke Bali dengan bantuan Ibu Sofia. Bahkan, beliau memberikan uang saku
kepadaku saat study tour. Begitu
dekatnya kami sehingga tak heran aku disebut anak emas oleh teman-temanku.
Bu Sofia. Sosok bersahaja dan rendah hati. Seakan beliau adalah Ibu
keduaku yang menyambutku dengan senang hati ketika aku curhat kepadanya. Aku
pun tak segan menceritakan awal kenekatanku masuk di SMA 1. Aku ngotot untuk
sekolah di kota, SMA 1 seperti yang kuinginkan saat itu. Mamak mengiyakan
dengan syarat hanya membiayai formulir pendaftaran. Selanjutnya, biaya aku
tanggung sendiri. Bapak pun tak tega. Bapak berhutang pada Paklek tanpa
sepengetahuanku dan Mamak. Pagi sebelum aku berangkat daftar ulang SMA di hari
terakhir, beliau memberikan amplop berisi uang untuk membayar uang gedung.
Tadi pagi, wisuda purnasiswa SMA 1 baru saja dilakukan. Aku termasuk
siswa yang bergembira dalam pesta itu. Sujud syukur kepadaMU pun kulakukan.
Tiga tahun sudah aku menimba ilmu jenjang SMA. Hasilnya pun tak mengecewakan.
Aku memang tak rangking 1. Tapi bukan itu yang membuatku bahagia.
“Anakku. Engkau
sudah seperti anak kandung Ibu sendiri. Pun bagi sekolah ini, engkau pun tak
mengecewakan kami. PMR meraih banyak prestasi karena kepemimpinanmu. Engkau tak
sungkan mengajak teman-temanmu membersihkan masjid karena engkau yakin siapa
menanam akan menuai. Engkau rajin membaca buku perpustakaan dan membuat
rangkuman semua koleksi. Engkau pun menulis hingga diarymu layak untuk dibukukan. Anakku, walau engkau tak rangking 1.
Meskipun ada nilai 6 pada Ujian matematikamu, Ibu tak pandang itu sebagai
kelemahan. Semangatmu memberikan inspirasi bagi Ibu. Anakku, mohon maaf jika
Ibu tidak memberitahukan hal ini sebelumnya kepadamu. Hari ini, semoga
merupakan hari kebahagiaanmu.” Bu Sofia menghela nafas.
Suasana hening.
“Anakku. Ananda
Ida Subekti, sudilah kiranya ananda maju ke podium. Dan dimohon kepada Bapak
Kepala Sekolah SMA 1 untuk menyematkan Widya Nugraha sebagai tanda penghargaan
kepada ananda Ida Subekti.”
“Dan kepada
Bapak Rinto selaku manager PT. Rajawali Press memberikan buku dengan judul
“Gadis Beasiswa” karya ananda Ida Subekti sekaligus penyerahan secara simbolis full scholarship S1 Pendidikan
Keperawatan dari Yayasan Rajawali.”
Apa? Aku tak percaya. Ku cubit tanganku. Sakit.
Perlahan aku, sang gadis beasiswa pun melangkah ke podium. Standing applause dari teman-teman dan
guruku mengiringi setiap langkah. Ah, bayangan Mamak berkelebat. Pasti beliau
bahagia walau tak hadir. Aku melihat senyum Mamak terkembang. Ya, kali ini
pasti aku juga membuat Mamak menangis. Menangis bahagia.
Keterangan:
1Kahanan
: keadaan
2nyangoni
kepinteran : memberi bekal ilmu
3Jer
basuki mawa bea : ungkapan Jawa yang berarti sesuatu itu pasti membutuhkan
biaya
4Duh
Gusti, kulo nyuwun pangapunten : Ya Tuhan, saya mohon ampun


Tidak ada komentar:
Posting Komentar