“Mbak, ajari dong perkalian. Ais bingung ni,”
pintaku pada Mbakku yang super pinter.
“Hemm,
dari kemarin juga dah diajarin to,” jawabnya ketus sambil terus menganyam
kruistiknya.
“Halah.
Mbak ni. Ais kan masih lupa,” aku memelas.
Aku
suka mengganggu Mbakku. Eh, tidak juga. Aku hanya kesulitan di pelajaran
matematika itu dan aku memintanya untuk membantuku. Hemm, sedikit berbeda kan
maknanya. Aku benar-benar frustasi dengan perkalian itu. 4 x 6 ku pikir 32. 2 x
4 jawabanku 12. Haduh, payah benar bukan. Apakah aku benar-benar bodoh? Aku tak
tahu. Oh ya, Aku dengan Mbakku selisih usia 6 tahun. Jadi, maklum saja Mbakku
sering sewot, dia kan mau ujian kenaikan kelas di bangku SMP.
Aku
masih kesulitan pada perkalian bilangan. Padahal, Bu Nining guru matematikaku
akan memberikan tes “mencongak” (tes dengan cara dikte dan siswa langsung
menuliskan jawabannya di lembar masing-masing) di setiap pertemuan. Aduh,
bagaimana ini? Mbakku memberikan secarik kertas perkalian sampai 10 x 10 untuk
kuhafalkan luar kepala. Aku pun tak kehabisan akal. Sambil menunggu aku
ketiduran di waktu malam hari, aku menghafalkan berderet angka-angka yang telah
ku salin di tembok.
Ah,
usahaku sia-sia. Aku benar-benar tak hafal angka-angka itu. Humpf, kenapa sih
ada orang yang menciptakan perkalian itu hingga bikin kacau pikiran seorang
anak kecil ini. Apa gunanya perkalian? Emangnya kalau di hafal kita dapat apa?
Permen? Hadiah? Atau sekedar nilai? Pemikiran praktis.
Saatnya
“mencongak” tiba. Dag dig dug. Duh, Tuhan, tolonglah aku. Pikir punya pikir,
aha, aku punya ide. Ku keluarkan secarik kertas yang diberikan Mbakku beberapa
waktu lalu. Ku taruh di laci. Dan ia siap menjadi bahan bacaanku, hehe. Thank you, sist. Beruntungnya pula aku
duduk di belakang. Sepertinya Tuhan memang mengizinkanku. Ku dengar Bu Nining
berkata 5 x 4. Sontak ku arahkan mataku pada laci dan ku deret hingga ku
temukan angka 20. 6 x 8 pertanyaan berikutnya. Dan seperti sebelumnya, aku
lihai melihat contekanku. 8 x 4. Hemm, yak, kutemukan jawabannya. Teman
sebangku diam melihat gelagatku. Ah, biarin. Cuek is the best. Tanpa tersadar, Bu Nining sudah di hadapanku.
“Ada
apa, Ais? Kok lihat laci terus?”
“Oh,
eh. Ndak ada apa-apa kok, Bu,” jawabku gugup.
“Beneran?
Coba Ibu lihat lacinya.”
Haduh,
ketahuan ni. Bu Nining mengambil kertas itu. Teriakan “Huuuuuu” tanpa dikomando
terdengar nyaring bak paduan suara profesional. Bu Nining segera memberikan
aba-aba tenang dan mencongak pun dilanjutkan. Setelah koreksi jawaban berakhir,
Bu Nining memberikan nasehat untuk semua murid.
“Anak-anakku,
jika kalian ingin pintar, belajarlah yang rajin. Rajian baca dan rajin latihan.
Jika sedang ulangan, tidak boleh diantara kalian melihat catatan atau melihat
jawaban teman.”
“Baik
, Bu Guru,” jawab murid serempak.
Kemudian
Bu Nining mengarahkan pandangan kepadaku. Aku malu. Seandainya aku bisa berdisapparate kayak di buku Harry Potter
itu, pasti kulakukan.
“Ais,
besok jangan diulangi lagi ya.”
“Iya,
Bu. Saya minta maaf.”
“Sudah,
tidak apa-apa. Yang penting sekarang Ais belajar yang rajin dan dihafal. Besok
pasti bisa.”
“Baik,
Bu.”
Alhamdulillah.
Pengadilan dengan aku sebagai terdakwa telah berlalu. Tapi, secara psikologis,
aku benar-benar ketakutan. Mungkin trauma. Aku berniat tak akan lagi mencontek.
Tidak akan!
Aku
tetap terngiang. Ya Tuhan, kenapa aku melakukan perbuatan itu? Maafkan aku, Mbak.
Aku menyalahgunakan kertas itu. Aku berpikir sejenak. Kuakui, aku hanya bisa
mengandalkan Mbakku sebagai tentor privat bagiku ketika menemui kesulitan
seperti di pelajaran matematika. Emak tak mungkin membantuku. Bagaimana tidak?
Emak hanya lulus SD. Pelajaran SD waktu dulu tak seperti yang sekarang ku
pelajari. Atau Bapak yang justru lebih miris. Bapak tak bisa baca tulis dan
hitungan. Hanya sekedar menghitung untuk keperluan jual beli. Tapi kalau urusan
pelajaran sekolah, Bapak angkat tangan (bahkan mungkin angkat kaki, hehe).
Jadi,
Mbak adalah aji pamungkas buatku. Kuakui, dia cerdas. Dia adalah siswa termuda
di kelasnya tapi menjadi bintang kelas. Atau mungkin memang ada benarnya,
semakin muda usia kita, segala ilmu mudah masuk karena otak masih fresh dan belum full-memory. Nah, berarti hukum itu berlaku juga bagiku. Aku masih
kelas 2 SD. Berarti otakku belumlah full
ataupun overload. Oke, aku
meyakininya. Whatever. Lupakan
sejenak dan aku dipanggil Emak.
“Nduk,
sini bentar. Mak mau minta tolong.”
“Haa?
Ya, bentar.”
“Ada
apa, Mak?”
“Tolong
belikan dua bungkus mi ya di warung Yu Narti. Sama tempe seribu saja. Ini
uangnya.”
“Ya.”
Bergegas
aku ke warung. Membeli dua bungkus mi. Satu bungkus mi harganya seribu lima
ratus. Jadi kalo aku beli dua bungkus, harganya tiga ribu. Aha,aku baru
menyadari, ternyata konsep perkalian itu seperti ini. Wah, harusnya Bu Nining
di sekolah ajak kita belajar belanja saja. Jadi, perhitungan perkalian lebih
konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya hafalan semata.
Di
dapur ku tengok Mbakku sedang memasak sayur. Humm. Yummi. Aroma oseng daun
singkong berbumbu pedas kucium saat mendekat. Aku pun segera terampil mengupas
tempe yang berbungkus daun pisang dan potongan koran. Ku lihat Mbakku mengambil
dan membaca koran bungkus tempe tadi. Yah, kurang kerjaan. Potongan koran
begitu kok dibaca. Bukannya bikin bingung?
“Kayak
gitu kok dibaca to, Mbak?”
“Ya
ndak apa-apa. Kan masih bisa dibaca. Dari membaca, kita bisa tahu banyak hal.
Berita di luar negeri sana, pengetahuan, atau seputar kesehatan juga ada.”
“Tapi
kan bukan yang potong-potong kayak gini.”
“Adanya
baru yang kayak gini, Ais. Kalo ada yang lebih bagus, pasti Mbak baca juga
kok.”
Akhirnya
aku tertarik juga. Itung-itung bacaan gratis. Faktanya, aku memang tak punya
buku bacaan. Jangankan buku bacaan, buku pelajaran yang kupunya hanyalah hasil
pinjaman dan pemaksaan hibah dari kakak tingkat.
Dengan
modal kefasihkanku membaca, beranjak aku menyukai segala hal yang berbau
tulisan. Bahasa kerennya hobbi membaca gitu. Aku menemukan sobekan kertas di
laci, dan kubaca. Terkadang isinya memang aneh-aneh. Koran pembungkus bakmi
yang selalu dibawakan Emak dari pasar sebagai hadiah kepadaku karena telah
membantunya membuat besek (kerajinan dari anyaman bambu) tak luput menjadi
santapan bacaanku. Sedaaap, bikin membaca selezat coklat.
Empat
tahun kemudian,
Kini
aku akan ujian kelulusan tingkat sekolah dasar. Dag dig dug. Ku persiapkan
segalanya. Psikis, fisik dan tentunya kartu ujian serta alat tulis. Bismillah.
“Sttt,
Ais. Ais.”
“Ada
apa? Mau pinjem penghapus lagi?”
“Enggak,
jawaban nomer 12 apa?”
Glek.
Apa maksudnya? Aku diam saja.
“Ais,
Ais.”
Giliran
kursiku ditendang halus dari belakang.
“Heh,
apa sih. Kerjain sendiri dong.”
“Huh,
Ais tu pelit.”
Astaghfirullah.
Haduh serba salah. Kemarin sebelum ujian, kepala sekolah kami berpesan, agar
kami saling membantu dalam mengerjakan ujian. Biar lulus semua katanya. Tapi,
bukannya Bu Nining dulu berpesan jika ujian kita tidak boleh mencontek? Mana
yang benar?
Ku
lihat sekeliling. Sepertinya teman-teman tekun dalam soal ujian mereka
masing-masing. Ada pula yang garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal sama
sekali. Eh, ternyata pikiranku salah. Mereka tekun menelusuri barisan contekan.
Hobi membaca, tapi beda konteks. Aku membaca yang seharusnya dibaca dan positif,
sedang mereka membaca yang seharusnya tidak dibaca dan negatif.
Beberapa
kertas melayang di udara. Termasuk kertas yang mendarat di depanku. Ku buka.
Minta jawaban esai nomer 5. Huh, dasar. Tak tulis jawabannya “pikiren dhewe” (pikir sendiri). Tapi
mungkin terlalu pusing, jawaban itu ditulis juga oleh temanku. Hehehe, siapa
yang bodoh?
Ku
tengok guru pengawas di depan. Masak sih tak lihat gelagat kita yang
mencurigakan? Tengok kanan kiri, berisik dan banyak kertas bertebaran karena
salah sasaran. Atau jangan-jangan memang dibiarkan? Jangan-jangan dulu guru itu
juga nyontek, jadi sekarang dibiarkan saja murid-muridnya nyontek. Ah, aku
tersadar dalam negative thinking.
Maafkan aku.
Bapak
Ibu Guru tercinta,
Ajari
kami tentang kejujuran dan tanggungjawab
Jangan
biarkan kami bengkok dalam jalan yang panjang ini
Bapak
Ibu Guru tercinta,
Ajari
kami untuk menjadi pribadi prestatif
Insan
yang selalu berusaha
Insan
tak condong dalam jalan pintas yang menyesatkan
Karena
kami dilahirkan sebagai winner
Biarlah
kami menjadi trully winner
Enam
tahun kemudian,
Aku
kini sudah menjadi mahasiswa. Segalanya telah berubah dan perubahan itu adalah
pasti. Eits, tapi ada satu hal yang tak pernah berubah. Kebiasaanku membaca.
Buku
bacaan adalah salah satu barang wajib yang harus selalu kubawa. Alhasil,
ranselku pasti terlihat penuh dengan beragam “barang wajib”ku. Jika memang
benar-benar terlupa, aku pun menyempatkan surfing
bacaan melalui dunia maya. Jurnal, e-book,
artikel, ensiklopedi akan banyak kutemukan di arena maha luas itu. Jika jenuh
membaca, aku bisa mencurahkan segala uneg-uneg di blog gratisanku. Kemajuan
teknologi masa kini semakin memudahkan.
Kulihat
teman-teman yang asyik bermain dengan account
jejaring sosialnya. Mending kalo
diskusi atau menandai artikel atau buku. Kalo hanya sekedar update status yang
sepertinya banyak yang tak urgent. It’s wasting time, I think. Hey, kawan.
Dunia kalian bukan hanya dunia comment dan update status. Bacaan yang
lebih bermutu (menurutku) dapat banyak kalian akses lewat fasilitas wifi itu.
“Ais,
akunmu apa sih? Aku minta dong.”
“Hehe,
rahasia. Emang mau buat apa?”
“Ya,
buat Online sama kamu lah.”
“Halah,
kan masih bisa ketemu.”
“Hemm,
Ais tu ya. Susahnya minta ampun.”
“Ya
udah, ntar kamu tak add. Tapi jangan
update yang gak jelas, ntar tak blokir akunmu.”
“Oke,
gadis manis.”
Kali
lain kulihat kalian asyik mencontek ketika ulangan mid semester. Hello, guys. Pasti kalian tak belajar
ya? Atau kalian memang males dan sudah terbudaya? Bisa jadi, kalian memang
males membaca dan mengandalkan contek-mencontek saja.
“Ais,
jawaban nomer 2 apa? C apa D ya?”
:Wah,
aku juga masih bingung.”
“Ais,
kalo menurutmu, nomer 9 itu yang mana?”
“Entahlah,
maaf, ujian, Sob.”
Aku
memilih posisi strategis. Depan sendiri. Tak banyak diminati dan aku bisa lebih
leluasa. Di belakang sana, pasti ribut. Kalo di depan, pekerjaan selesai, jawaban
dikumpul dan melenggang keluar dengan tenang. Sorakan “Weeeeez, orang pinter”
terdengar mengiringi langkahku. Cuek is
the best.
Di
kantor subag, ku lihat bapak-bapak karyawan asyik menonton televisi dengan
tayangan opera sabun siang itu. Padahal, aku menikmati tayangan TV baru ketika
kuliah ini pun sebatas berita dan film asing karena aku sedang belajar bahasa
asing. Sebelumnya, aku tak pernah menonton TV. Tapi, aku tak menyesal karena
dengan tak hadirnya televisi di keluargaku justru membuatku tak goyah membaca
dan belajar. Terima kasih Emak, Bapak. Engkau justru memberikan kesempatan
untukku agar tak menonton TV.
Aku
berjalan menuju tempat janjian dengan komunitasku. Ya, hari ini kami akan
melakukan gladi bersih untuk presentasi karya ilmiah besok pagi. Aku tak
mengerti, tapi yang jelas, ada korelasi positif antara minat membaca dengan
kemampuan menulis. Karena membaca dan tulisan tak dapat dipisahkan. Aku
teringat kata T. Elliot bahwa sulit membangun peradaban tanpa baca dan tulis.
Sejarah telah membuktikan dan tinggal bagaimana kita mempertahankan pembuktian
itu serta menjadi bagian dari para pelaku sejarah.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar