Pages

Ads 468x60px

Minggu, 20 Januari 2013

Mana yang Salah?


 “Mbak, ajari dong perkalian. Ais bingung ni,” pintaku pada Mbakku yang super pinter.
“Hemm, dari kemarin juga dah diajarin to,” jawabnya ketus sambil terus menganyam kruistiknya.
“Halah. Mbak ni. Ais kan masih lupa,” aku memelas.
“Yaudah sini. Bawa bukunya juga.”
Aku suka mengganggu Mbakku. Eh, tidak juga. Aku hanya kesulitan di pelajaran matematika itu dan aku memintanya untuk membantuku. Hemm, sedikit berbeda kan maknanya. Aku benar-benar frustasi dengan perkalian itu. 4 x 6 ku pikir 32. 2 x 4 jawabanku 12. Haduh, payah benar bukan. Apakah aku benar-benar bodoh? Aku tak tahu. Oh ya, Aku dengan Mbakku selisih usia 6 tahun. Jadi, maklum saja Mbakku sering sewot, dia kan mau ujian kenaikan kelas di bangku SMP.
Aku masih kesulitan pada perkalian bilangan. Padahal, Bu Nining guru matematikaku akan memberikan tes “mencongak” (tes dengan cara dikte dan siswa langsung menuliskan jawabannya di lembar masing-masing) di setiap pertemuan. Aduh, bagaimana ini? Mbakku memberikan secarik kertas perkalian sampai 10 x 10 untuk kuhafalkan luar kepala. Aku pun tak kehabisan akal. Sambil menunggu aku ketiduran di waktu malam hari, aku menghafalkan berderet angka-angka yang telah ku salin di tembok.
Ah, usahaku sia-sia. Aku benar-benar tak hafal angka-angka itu. Humpf, kenapa sih ada orang yang menciptakan perkalian itu hingga bikin kacau pikiran seorang anak kecil ini. Apa gunanya perkalian? Emangnya kalau di hafal kita dapat apa? Permen? Hadiah? Atau sekedar nilai? Pemikiran praktis.
Saatnya “mencongak” tiba. Dag dig dug. Duh, Tuhan, tolonglah aku. Pikir punya pikir, aha, aku punya ide. Ku keluarkan secarik kertas yang diberikan Mbakku beberapa waktu lalu. Ku taruh di laci. Dan ia siap menjadi bahan bacaanku, hehe. Thank you, sist. Beruntungnya pula aku duduk di belakang. Sepertinya Tuhan memang mengizinkanku. Ku dengar Bu Nining berkata 5 x 4. Sontak ku arahkan mataku pada laci dan ku deret hingga ku temukan angka 20. 6 x 8 pertanyaan berikutnya. Dan seperti sebelumnya, aku lihai melihat contekanku. 8 x 4. Hemm, yak, kutemukan jawabannya. Teman sebangku diam melihat gelagatku. Ah, biarin. Cuek is the best. Tanpa tersadar, Bu Nining sudah di hadapanku.
“Ada apa, Ais? Kok lihat laci terus?”
“Oh, eh. Ndak ada apa-apa kok, Bu,” jawabku gugup.
“Beneran? Coba Ibu lihat lacinya.”
Haduh, ketahuan ni. Bu Nining mengambil kertas itu. Teriakan “Huuuuuu” tanpa dikomando terdengar nyaring bak paduan suara profesional. Bu Nining segera memberikan aba-aba tenang dan mencongak pun dilanjutkan. Setelah koreksi jawaban berakhir, Bu Nining memberikan nasehat untuk semua murid.
“Anak-anakku, jika kalian ingin pintar, belajarlah yang rajin. Rajian baca dan rajin latihan. Jika sedang ulangan, tidak boleh diantara kalian melihat catatan atau melihat jawaban teman.”
“Baik , Bu Guru,” jawab murid serempak.
Kemudian Bu Nining mengarahkan pandangan kepadaku. Aku malu. Seandainya aku bisa berdisapparate kayak di buku Harry Potter itu, pasti kulakukan.
“Ais, besok jangan diulangi lagi ya.”
“Iya, Bu. Saya minta maaf.”
“Sudah, tidak apa-apa. Yang penting sekarang Ais belajar yang rajin dan dihafal. Besok pasti bisa.”
“Baik, Bu.”
Alhamdulillah. Pengadilan dengan aku sebagai terdakwa telah berlalu. Tapi, secara psikologis, aku benar-benar ketakutan. Mungkin trauma. Aku berniat tak akan lagi mencontek. Tidak akan!
Aku tetap terngiang. Ya Tuhan, kenapa aku melakukan perbuatan itu? Maafkan aku, Mbak. Aku menyalahgunakan kertas itu. Aku berpikir sejenak. Kuakui, aku hanya bisa mengandalkan Mbakku sebagai tentor privat bagiku ketika menemui kesulitan seperti di pelajaran matematika. Emak tak mungkin membantuku. Bagaimana tidak? Emak hanya lulus SD. Pelajaran SD waktu dulu tak seperti yang sekarang ku pelajari. Atau Bapak yang justru lebih miris. Bapak tak bisa baca tulis dan hitungan. Hanya sekedar menghitung untuk keperluan jual beli. Tapi kalau urusan pelajaran sekolah, Bapak angkat tangan (bahkan mungkin angkat kaki, hehe).
Jadi, Mbak adalah aji pamungkas buatku. Kuakui, dia cerdas. Dia adalah siswa termuda di kelasnya tapi menjadi bintang kelas. Atau mungkin memang ada benarnya, semakin muda usia kita, segala ilmu mudah masuk karena otak masih fresh dan belum full-memory. Nah, berarti hukum itu berlaku juga bagiku. Aku masih kelas 2 SD. Berarti otakku belumlah full ataupun overload. Oke, aku meyakininya. Whatever. Lupakan sejenak dan aku dipanggil Emak.
“Nduk, sini bentar. Mak mau minta tolong.”
“Haa? Ya, bentar.”
“Ada apa, Mak?”
“Tolong belikan dua bungkus mi ya di warung Yu Narti. Sama tempe seribu saja. Ini uangnya.”
“Ya.”
Bergegas aku ke warung. Membeli dua bungkus mi. Satu bungkus mi harganya seribu lima ratus. Jadi kalo aku beli dua bungkus, harganya tiga ribu. Aha,aku baru menyadari, ternyata konsep perkalian itu seperti ini. Wah, harusnya Bu Nining di sekolah ajak kita belajar belanja saja. Jadi, perhitungan perkalian lebih konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Tak hanya hafalan semata.
Di dapur ku tengok Mbakku sedang memasak sayur. Humm. Yummi. Aroma oseng daun singkong berbumbu pedas kucium saat mendekat. Aku pun segera terampil mengupas tempe yang berbungkus daun pisang dan potongan koran. Ku lihat Mbakku mengambil dan membaca koran bungkus tempe tadi. Yah, kurang kerjaan. Potongan koran begitu kok dibaca. Bukannya bikin bingung?
“Kayak gitu kok dibaca to, Mbak?”
“Ya ndak apa-apa. Kan masih bisa dibaca. Dari membaca, kita bisa tahu banyak hal. Berita di luar negeri sana, pengetahuan, atau seputar kesehatan juga ada.”
“Tapi kan bukan yang potong-potong kayak gini.”
“Adanya baru yang kayak gini, Ais. Kalo ada yang lebih bagus, pasti Mbak baca juga kok.”
Akhirnya aku tertarik juga. Itung-itung bacaan gratis. Faktanya, aku memang tak punya buku bacaan. Jangankan buku bacaan, buku pelajaran yang kupunya hanyalah hasil pinjaman dan pemaksaan hibah dari kakak tingkat. 
Dengan modal kefasihkanku membaca, beranjak aku menyukai segala hal yang berbau tulisan. Bahasa kerennya hobbi membaca gitu. Aku menemukan sobekan kertas di laci, dan kubaca. Terkadang isinya memang aneh-aneh. Koran pembungkus bakmi yang selalu dibawakan Emak dari pasar sebagai hadiah kepadaku karena telah membantunya membuat besek (kerajinan dari anyaman bambu) tak luput menjadi santapan bacaanku. Sedaaap, bikin membaca selezat coklat.
Empat tahun kemudian,
Kini aku akan ujian kelulusan tingkat sekolah dasar. Dag dig dug. Ku persiapkan segalanya. Psikis, fisik dan tentunya kartu ujian serta alat tulis. Bismillah.
“Sttt, Ais. Ais.”
“Ada apa? Mau pinjem penghapus lagi?”
“Enggak, jawaban nomer 12 apa?”
Glek. Apa maksudnya? Aku diam saja.
“Ais, Ais.”
Giliran kursiku ditendang halus dari belakang.
“Heh, apa sih. Kerjain sendiri dong.”
“Huh, Ais tu pelit.”
Astaghfirullah. Haduh serba salah. Kemarin sebelum ujian, kepala sekolah kami berpesan, agar kami saling membantu dalam mengerjakan ujian. Biar lulus semua katanya. Tapi, bukannya Bu Nining dulu berpesan jika ujian kita tidak boleh mencontek? Mana yang benar?
Ku lihat sekeliling. Sepertinya teman-teman tekun dalam soal ujian mereka masing-masing. Ada pula yang garuk-garuk kepala yang sebenarnya tak gatal sama sekali. Eh, ternyata pikiranku salah. Mereka tekun menelusuri barisan contekan. Hobi membaca, tapi beda konteks. Aku membaca yang seharusnya dibaca dan positif, sedang mereka membaca yang seharusnya tidak dibaca dan negatif.
Beberapa kertas melayang di udara. Termasuk kertas yang mendarat di depanku. Ku buka. Minta jawaban esai nomer 5. Huh, dasar. Tak tulis jawabannya “pikiren dhewe” (pikir sendiri). Tapi mungkin terlalu pusing, jawaban itu ditulis juga oleh temanku. Hehehe, siapa yang bodoh?
Ku tengok guru pengawas di depan. Masak sih tak lihat gelagat kita yang mencurigakan? Tengok kanan kiri, berisik dan banyak kertas bertebaran karena salah sasaran. Atau jangan-jangan memang dibiarkan? Jangan-jangan dulu guru itu juga nyontek, jadi sekarang dibiarkan saja murid-muridnya nyontek. Ah, aku tersadar dalam negative thinking. Maafkan aku.
Bapak Ibu Guru tercinta,
Ajari kami tentang kejujuran dan tanggungjawab
Jangan biarkan kami bengkok dalam jalan yang panjang ini
Bapak Ibu Guru tercinta,
Ajari kami untuk menjadi pribadi prestatif
Insan yang selalu berusaha
Insan tak condong dalam jalan pintas yang menyesatkan
Karena kami dilahirkan sebagai winner
Biarlah kami menjadi trully winner

Enam tahun kemudian,
Aku kini sudah menjadi mahasiswa. Segalanya telah berubah dan perubahan itu adalah pasti. Eits, tapi ada satu hal yang tak pernah berubah. Kebiasaanku membaca.
Buku bacaan adalah salah satu barang wajib yang harus selalu kubawa. Alhasil, ranselku pasti terlihat penuh dengan beragam “barang wajib”ku. Jika memang benar-benar terlupa, aku pun menyempatkan surfing bacaan melalui dunia maya. Jurnal, e-book, artikel, ensiklopedi akan banyak kutemukan di arena maha luas itu. Jika jenuh membaca, aku bisa mencurahkan segala uneg-uneg di blog gratisanku. Kemajuan teknologi masa kini semakin memudahkan.
Kulihat teman-teman yang asyik bermain dengan account  jejaring sosialnya. Mending kalo diskusi atau menandai artikel atau buku. Kalo hanya sekedar update status yang sepertinya banyak yang tak urgent. It’s wasting time, I think. Hey, kawan. Dunia kalian bukan hanya dunia  comment dan update status. Bacaan yang lebih bermutu (menurutku) dapat banyak kalian akses lewat fasilitas wifi itu.
“Ais, akunmu apa sih? Aku minta dong.”
“Hehe, rahasia. Emang mau buat apa?”
“Ya, buat Online sama kamu lah.”
“Halah, kan masih bisa ketemu.”
“Hemm, Ais tu ya. Susahnya minta ampun.”
“Ya udah, ntar kamu tak add. Tapi jangan update yang gak jelas, ntar tak blokir akunmu.”
“Oke, gadis manis.”
Kali lain kulihat kalian asyik mencontek ketika ulangan mid semester. Hello, guys. Pasti kalian tak belajar ya? Atau kalian memang males dan sudah terbudaya? Bisa jadi, kalian memang males membaca dan mengandalkan contek-mencontek saja.
“Ais, jawaban nomer 2 apa? C apa D ya?”
:Wah, aku juga masih bingung.”
“Ais, kalo menurutmu, nomer 9 itu yang mana?”
“Entahlah, maaf, ujian, Sob.”
Aku memilih posisi strategis. Depan sendiri. Tak banyak diminati dan aku bisa lebih leluasa. Di belakang sana, pasti ribut. Kalo di depan, pekerjaan selesai, jawaban dikumpul dan melenggang keluar dengan tenang. Sorakan “Weeeeez, orang pinter” terdengar mengiringi langkahku. Cuek is the best.
Di kantor subag, ku lihat bapak-bapak karyawan asyik menonton televisi dengan tayangan opera sabun siang itu. Padahal, aku menikmati tayangan TV baru ketika kuliah ini pun sebatas berita dan film asing karena aku sedang belajar bahasa asing. Sebelumnya, aku tak pernah menonton TV. Tapi, aku tak menyesal karena dengan tak hadirnya televisi di keluargaku justru membuatku tak goyah membaca dan belajar. Terima kasih Emak, Bapak. Engkau justru memberikan kesempatan untukku agar tak menonton TV. 
Aku berjalan menuju tempat janjian dengan komunitasku. Ya, hari ini kami akan melakukan gladi bersih untuk presentasi karya ilmiah besok pagi. Aku tak mengerti, tapi yang jelas, ada korelasi positif antara minat membaca dengan kemampuan menulis. Karena membaca dan tulisan tak dapat dipisahkan. Aku teringat kata T. Elliot bahwa sulit membangun peradaban tanpa baca dan tulis. Sejarah telah membuktikan dan tinggal bagaimana kita mempertahankan pembuktian itu serta menjadi bagian dari para pelaku sejarah.

Tidak ada komentar: