Pages

Ads 468x60px

Kamis, 31 Januari 2013

Kisah Dua Wonosari


30 Januari 2013

Subhanallah, seharian ini saya hanging out. Awalnya janjian di kampus jam8 untuk berkunjung ke rumah salah satu teman organisasi. Secara pribadi, berhubung tadi malam pulang sekita jam 10, jadi pagi masih menyelesaikan soal-soal untuk ngajar. Alhasil baru jam 8 kurang dapat keluar dari ‘persembunyian’. Mampir sebentar di rumah Teh Lisna, menyerahkan titipan orang Aceh. Hehe, maaf ya ibu yang dari Aceh, saya kurang seribu rupiah kembaliannya. Terima kasih sudah diikhlaskan untuk saya. (benar-benar tidak ada uang seribu lagi di dompet).
Berkumpul 2 ikhwan – 6 akhwat, kita meluncur ke lapangan Denggung. Kata tuan rumah, mau dijemput disana karena susah menjelaskan rute ke rumah beliau. Iseng-iseng menunggu di pojok lapangan, kami melihat para polisi sedang simulasi. Lumayan lah, ada yang main record juga, hehe. (anak media sih…)
Perjalanan dilanjutkan setelah sang penjemput tiba. Awalnya jalannya mudah dikenali, lha wong saya juga putri daerah. Tapi, akhirnya saya sendiri kehilangan orientasi, hehe. Jadi, ngikut aja. Melewati jalan sepi, wuss….wuss…wuss. Anak-anak (eh, temen-temen ding) kelihatan aslinya. Pembalap deh. Maklum, jarak tempuh berbanding lurus dengan waktu.
Di sini salak, di sana salak, dimana-mana kulihat pohon salak.
Yups, kami memasuki kawasan Turi, daerah penghasil salak pondoh terkenal itu. Dingin menyeruak wajah. Jalan pun makin sepi.
Kurang lebih dua puluh menit kemudian, alhamdulillah sampai di tujuan. Tepat di dusun Wonosari (ini nyata), Turi, Sleman, rumah teman kami berdiri. Lho, lho, lho. Ada satu teman kami yang ngacir bablas. Wah,wah, dia terlalu asyik menikmati jalan kali ya sampai tak sadar kita  sudah berhenti. Setelah disusul oleh ikhwan satunya, oalah ternyata nyari bensin. Hehe, kagak ada kali POM di daerah sini, paling adanya ecer pun tidak mudah dijumpai layaknya di kota.
Acara berlangsung. Mohon maaf, sensor. Yang jelas, ada sesi sharing tentang pengalaman kita waktu dulu KKN-PPL (kecuali satu orang karena memang masih angkatan muda, jadi belum KKN-PPL), maklum anak pendidikan. Seputar sekolah-kantor. Subhanallah, sungguh,banyak membelajarkan ya, pokoknya special dan mantap kisahnya. Semoga suatu saat bisa ditindaklanjuti menjadi antologi kisah inspiratif....
=============================
Sebelum pulang, kita menyempatkan diri narsis dulu, maklum akhwat semua, (kedua ikhwan sudah duuluan pulang). Berbagai POV dapet, berlatar depan rumah, kebon salak, jalan pun jadi incaran. Uniknya, ada satu temen yang baru tahu kalo ternyata: pohon salak itu kayak gitu, buahnya keliatan dan di atas tanah, pikir dia ada di dalam tanah. Umbi ya? hehehe.
Pulang ke kota, kita dengan PD menyatakan bahwa kami tahu jalan pulang. Tidak perlu diantar tuan rumah lagi, merepotkan dia juga bukan?
Oke, meluncur ke bawah itu paling enak, tanpa dihidupkan mesin motor kita pun sudah “glidik”. (tapi saya tetep ndak berani). Eh, di sebuah persimpangan, kok tiba-tiba temen paling depan belok kanan? Emmm, oke lah, mungkin ada jalan yang lebih deket menuju jalan protokol.
Muter-muter sampai saya benar-benar bingung, ini ke arah mana? Jalannya amazing, bikin motor saya tambah berisik suaranya. Akhirnya beberapa kali tanya dengan orang di sekitar kebun salak. Tapi dasar saya nakal, saya yang paling belakang iseng jalan pelan-pelan. Eh ternyata disusul teman yang lain kecuali yang sedang bertanya ke warga tadi. Ya sudah, lanjut. Tanpa ba bi bu, satu temen mengkomandoi dan mengandalkan feeling, alhamdulillah, kita sampai jalan gede. Pikir saya, ini temen hebat juga spacial intelligence-nya. Ok, thanks ukh…
Saya pribadi berlanjut ke Wonosari juga. Yang satu ini nama jalan maksudnya. Salah satu cara saya mencari amal adalah dengan mengajarkan apa yang saya miliki kepada yang lain. Semoga menjadi amal jariyah ya.
Belajar sesi 1.
Dua hari ini dia bangun dari tidur siang tidak terlambat. Padahal biasanya saya harus nugguin dia setengah jam untuk bersih diri sampai siap belajar. Dan hari ini, amazing. Tiba-tiba saja dia manja banget. Ya maklum sih, perempuan gitu. Cuma hari ini beda aja. Sedikit-sedikit merajuk, tak mau mengerjakan latihan soal. Katanya sedih, mau nangis. Halah, ini anak. Sedikit-sedikit meluk saya erat sangat lumayan lama. (Saya kaget, tidak pernah saya dipeluk dalam intensitas sesering ini, bahkan orang-orang dekat saya sekalipun). Saya tanya kenapa, dia bilangnya mulai hari ini ia tak bisa lama-lama dengan saya. Karena memang saya juga diminta tolong mengajar sodaranya yang masih duduk di kelas 2 SD. Dia pengennya saya hanya ngajar dia aja. Oooohhhh, jealous dia. Hehe.  Dan sampai azan maghrib, akhirnya dia belajar dengan banyak memeluk saya, heeeee.
Kami maghrib bersama di mushola dekat rumah. Nah, ini satu poin plus-nya. Bisa ngajarin ibadah juga, tidak hanya belajar ilmu dunia saja.
Ba’da maghrib saya pindah tempat, hanya beberapa meter sih. Si perajuk tadi ngambek, sedang saya juga sudah dijemput sama anak kelas 2 SD ini. Hemmm, gimana ya?
Oke, si perajuk boleh ikut liat belajar, tapi tidak boleh ganggu. (Melihat pengalaman sebelumnya, mereka berdua sering saling ejek. Mungkin ini salah satu tantangan bagi saya untuk mengajar akhlak juga pada mereka, hehe). Finally, deal deh.
Belajar sesi 2.
Ketika akan mengajar, saya pasti mereview dahulu kondisi dan kemampuan awal si anak. Begitu juga dengan yang satu ini. Anaknya suka ngomong dan agak hiperaktif meskipun dia cewek. Suka baca cerita tanpa putus alias nabrak-nabrak tanpa jeda, dengan awal kalimat ditambah dengan kata “tapi”.  Kata itu tidak ada dalam cerita, tetapi hampir ia tak luput melafalkannya. Sepertinya ini butuh treatment khusus.
Akhirnya dia tahu juga, saya tak bisa mengucapkan huruf keramat itu. Ada kisahnya di (Tetap) Bersyukur. Dan si perajuk akhirnya mulai meledek dia, “alah…kamu juga tak bisa ngomong itu juga…” Ya, memang dia juga tak bisa melafalkan dengan jelas huruf itu. So, kita sama, hehe. (mencari pembelaan dan pembenaran).
Belum kelar membahas bahasa Indonesia, ia ingin belajar IPA. Oke, saya siap. Eh, baru bukunya dikeluarkan, dia bilang, “mbak, saya mau belajar IPS aja, ini ya…” sambil nunjuk satu pokok bahasan dan mulai membaca. Tentu dengan tanpa putus dan beberapa tambahan kosakatanya sendiri.
Wah, kalau anak yang susah konsentrasi seperti ini, harus dijauhkan beberapa yang “mengganggu”. Oke, si perajuk saya minta bermain di luar. Sang bunda di ruangan lain belajar juga: mengaji. Dan alhamdulillah, satu setengah jam terlewat dengan 20 soal kontekstual.

Begitulah, amazing day versi saya hari ini. Setiap anak memiliki keunikan masing-masing dan ada beberapa sifat yang memang sudah “given”. Akan tetapi, perilaku juga bisa diubah dengan pembiasaan.
Kita tidak boleh men-judge bahwa si A bodoh, nakal, karena secara harfiah saja kita telah men-cap dia sebagai orang yang kurang (above the average). Secara psikologis, ini juga berbahaya. Ada dua kemungkinan: jika positif maka sang anak akan terpacu untuk menjadi lebih baik atau jika negatif akan membuat sang anak menjadi penakut dan minder. Secara positif, ini saya alami sendiri ketika dulu pernah dibilang “bodoh” oleh ortu saya hanya gara-gara rangking merosot tajam (tidak masuk dalam 10 besar). Dan alhamdulillah, dengan dilontarkan kata seperti itu, saya justru ingin membuktikan: “Oh, tidak, saya akan buktikan, saya bisa lebih baik daripada itu”. Nyatanya: sampai SMA bukti itu ada. Kelas-kelas di  Turgenen, NEGSAGO, SMADA menjadi saksi, ibu-bapak guru-karyawan (terutama yang akrab dengan saya) pun menjadi saksi. (Semoga Allah membalas amal beliau semua). Kalau kuliah kan tidak ada sistem rangking, jadi pembuktiannya dengan cara lain, hehe.
Dari sana juga, saya ingin sekali membantu anak-anak untuk menjadi cerdas. Saya benar-benar teringat bagaimana saya dulu berjuang demi sampai saat ini.
_terima kasih untuk hari ini_
_jamuannya_
_panorama pohon salak berserta buahnya_
_pelukan hangat_
_dan celoteh yang tiada jeda_

2 komentar:

absensi sidik jari mengatakan...

artikel tentang jogja yang menarik, syang jogja semakin macet jalannya
absensi sidik jari yogyakarta

gangeRtie mengatakan...

hemmm, kemarin di sukoharjo ternyata ada wonosari juga :)

ya, banyak faktor, mungkin transport umum yg tidak memadai, tidak menjangkau pelosok, dg kendaraan pribadi lebih efisien waktu (tidak muter2 dulu), ongkos juga relatif lebih murah jika pakai motor daripada bus, ato bisa jadi karena punya bnyk kendaraan jadi anak SMP pun sudah bawa motor.